Garuda Indonesia Vs Rius Vernandes, Pelajaran Berharga dari Krisis di Media Sosial
Oleh
M Paschalia Judith J
·5 menit baca
Reaksi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dalam menyikapi video blogger atau vlogger bernama Rius Vernandes menjadi pelajaran berharga, baik bagi pelaku industri penerbangan maupun warganet. Pelajaran berharga itu terdiri dari cara perusahaan menanggapi ulasan yang tersebar secara dalam jaringan atau daring serta etika bermedia sosial.
Garuda dan Rius kemungkinan besar bakal berdamai. Garuda secara resmi menyatakan agar sengketa mereka dengan Rius tak perlu berakhir di ranah hukum. Sekretaris Perusahaan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk M Ikhsan Rosan di Jakarta, Kamis (18/7/2019), menyatakan, manajemen korporasi tengah memediasi Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) dengan Rius.
Sebelumnya, Sekarga melaporkan Rius ke kepolisian dengan tudingan mencemarkan nama baik perusahaan setelah Rius mengunggah video di akun Instagram-nya soal menu makanan yang ditulis tangan dalam penerbangan kelas bisnis Sydney-Denpasar.
Ikhsan mengatakan, pihak korporasi berharap penyelesaian sengketa ini tidak perlu sampai ke ranah kepolisian. Sejak beredarnya video dan foto ulasan Rius di media sosial, Ikhsan mengatakan, Garuda tengah menginvestigasi fakta-fakta terkait. ”Investigasi ini dilakukan secara internal perusahaan,” kata Ikhsan.
Ketua Harian Sekarga Tomy Tampatty menyatakan, sejumlah anggota Sekarga melaporkan Rius ke polisi karena menilai konten yang diunggah vlogger tersebut telah merugikan pihak Garuda. Menurut Tomy, bentuk kerugian yang dialami adalah timbulnya persepsi negatif di kalangan masyarakat terhadap layanan Garuda. Dia juga menilai konten yang beredar di media sosial tersebut tidak proporsional.
Menanggapi sengketa antara Garuda melalui Sekarga dan penggiat media sosial, seperti Rius, Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo mengatakan, media sosial saat ini menjadi ruang publik dalam era digital. Menurut Agus, masyarakat dituntut mampu bertanggung jawab dan bersikap konsekuen terhadap apa pun yang disampaikan dalam media sosial karena dapat menimbulkan dampak publik.
”Hal ini merupakan pelajaran berharga yang dapat dipetik dari fenomena Garuda dalam menyikapi vlogger yang memberikan ulasannya di media sosial,” ujarnya.
Penyikapan Garuda terhadap ulasan Rius kini berada di ranah ruang publik. Oleh sebab itu, Agus berpendapat, minta maaf secara publik merupakan jalan tengah permasalahan tersebut.
Dari sisi etika, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) Jojo S Nugroho berpendapat, Indonesia perlu memiliki dewan yang mengatur dan menyusun kode etik bermedia sosial. Kode etik ini juga harus mengatur jasa pemengaruh media sosial (influencer).
Fenomena sengketa Garuda dengan pegiat media sosial menjadi menarik terkait dengan strategi korporasi menghadapi krisis di media sosial. Video yang diunggah Rius dan ternyata viral tersebut bertambah menjadi perbincangan publik setelah Garuda kemudian sempat mengeluarkan surat yang berisi larangan mendokumentasikan kegiatan di pesawat dalam bentuk video dan foto. Surat tersebut juga berisi petunjuk agar awak kabin untuk menyampaikan larangan kepada penumpang secara asertif.
Surat yang kemudian dimuat di sejumlah media arus utama kemudian menjadi perbincangan lagi di media sosial. Garuda dinilai kurang bijak dalam menyikapi kritik pelanggannya.
Akhirnya melalui siaran pers, Selasa (16/7/2019) lalu, Ikhsan Rosan menyatakan, surat edaran itu belum final. Pihak korporasi memang berniat membatasi kegiatan dokumentasi dalam bentuk foto dan video selama penerbangan demi menjaga privasi dan kenyamanan penumpang serta awak pesawat.
Meski demikian, menurut Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra, berdasarkan aturan internasional, tidak ada larangan untuk mendokumentasikan kegiatan dalam penerbangan berupa foto atau video. Namun, penumpang dan awak kabin harus mematikan gawai (termasuk ponsel dan kamera), terutama saat lepas landas dan pendaratan demi alasan keselamatan dan keamanan penerbangan.
Pihak korporasi memang berniat membatasi kegiatan dokumentasi dalam bentuk foto dan video selama penerbangan demi menjaga privasi dan kenyamanan penumpang serta awak pesawat
Situs Travelers United, organisasi yang berkantor pusat di Amerika Serikat, menulis, tidak ada aturan hukum yang melarang pengambilan gambar selama penerbangan, terutama untuk kepentingan pribadi. Namun, tidak dianjurkan mengambil gambar yang mengganggu kenyamanan ataupun privasi awak kabin dan penumpang lain.
Ziva menyatakan, pengambilan dokumentasi foto dan video selama penerbangan untuk kepentingan pribadi tergolong dalam rekreasi. Hal ini tidak termasuk dalam tataran privasi dan tata krama.
Punya hak
Menanggapi fenomena ini, Agus berpendapat, konsumen yang juga merupakan warganet memiliki hak dalam menyampaikan ulasannya di media sosial. ”Asalkan ulasan tersebut sesuai fakta yang ada, proporsional, dan rasional,” ujarnya.
Di sisi lain, Agus menilai Garuda juga memiliki hak untuk menggugat konsumen yang memberikan ulasan di media sosial karena perusahaan punya kepentingan untuk menyelamatkan nama baiknya dan bisnisnya serta pertanggungjawaban kepada pemodal. Namun, Garuda perlu memperhitungkan risiko yang timbul akibat gugatan tersebut.
Kritik di media sosial merupakan salah satu bentuk risiko perusahaan yang bergerak dalam pelayanan publik. Maskapai penerbangan termasuk dalam industri jasa yang memberikan pelayanan.
Sejumlah pihak memang menyayangkan cara Garuda menanggapi ulasan dari konsumennya yang disampaikan melalui media sosial. Apalagi, Garuda telah ada di Indonesia sebagai salah satu pelaku usaha maskapai sejak 1949.
Dalam menghadapi era media sosial, Jojo berpendapat, Garuda seharusnya memiliki standar operasional dan prosedur dalam menanggapi ulasan di media sosial, termasuk kritik. Dalam kasus ini, Garuda semestinya menghubungi Rius dan membuka dialog secara tatap muka.
Garuda juga merupakan perseroan yang terbuka sejak melantai di bursa pada 2011 dengan kode emiten GIAA. Pada Senin (15/7/2019), saham GIAA senilai Rp 410 per lembar. Adapun pada Kamis ini, saham GIAA ditutup di angka Rp 404 per lembar.
Menurut Ziva, saat ini Garuda terimbas sentimen yang memberatkan. Sentimen tersebut terbentuk salah satunya akibat penilaian pasar terhadap cara Garuda menyikapi ulasan yang beredar di media sosial.
Padahal, Ziva menilai ulasan di media sosial tersebut dapat menjadi peluang pemasaran bagi Garuda. ”Hal ini disayangkan karena Garuda memiliki pilihan untuk menangani pelanggan secara pribadi dan langsung. Apalagi Garuda bergerak di industri jasa sehingga aspek pelayanan pada konsumen menjadi sorotan,” katanya.