JAKARTA, KOMPAS – Kepolisian Negara RI berkomitmen untuk mengungkap secara tuntas kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Tim teknis Polri, yang mulai bertugas pekan depan, akan melanjutkan proses penyelidikan berdasarkan probabilitas motif yang telah disampaikan tim pencari fakta.
Berdasarkan keterangan Novel ketika diwawancara oleh tim pencari fakta (TPF) bentukan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Novel mengakui tidak memiliki masalah pribadi. Alhasil, TPF menduga penyiraman itu berkaitan dengan pekerjaan Novel sebagai penyidik KPK. Hal itu diperkuat melalui keterangan sejumlah saksi yang menilai Novel menggunakan kewenangan secara berlebihan atau excessive use of power.
Sebanyak enam kasus dianggap sebagai probabilitas motif peristiwa penyerangan itu, yaitu lima kasus yang ditangani Novel di KPK, seperti korupsi KTP elektronik; kasus korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar; kasus korupsi mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi; kasus korupsi Bupati Buol, Sulawesi Tengah, dan kasus korupsi Wisma Atlet, kemudian satu kasus lain ialah peristiwa penembakan pencuri sarang burung walet di Bengkulu, 2004.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra menjelaskan, probabilitas motif itu dapat mengantarkan tim penyelidik dan penyidik pada pendalaman untuk poses kasus itu. Atas dasar itu, probabilitas itu merupakan langkah lain yang diperlukan untuk mengungkap sebuah peristiwa pidana.
“Probabilitas motif dapat disusun sejak awal penyelidikan. Hal itu dapat mengantar penyidik untuk terus menjalani dan mendalami peristiwa itu,” kata Asep di Markas Besar Polri, Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Tindak lanjuti Rekomendasi
Ia memastikan, tim teknis Polri yang dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Idham Azis akan menindaklanjuti seluruh rekomendasi yang diberikan TPF. Oleh karena itu, tim teknis yang akan didominasi oleh penyidik akan diperkuat oleh personel Polri dengan keahlian teknis tertentu, misalnya laboratorium forensik, kedokteran, dan inafis.
Upaya itu dilakukan agar proses penyelidikan lanjutan yang dilakukan mendapatkan hasil komprehensif. Tim teknis akan bertugas selama enam bulan atau memiliki batas waktu mandat pada Januari 2020.
Sementara itu, anggota tim pakar TPF, Hendardi, menilai, usulan untuk membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden Joko Widodo memiliki kepentingan politik. Usulan itu, lanjutnya, merupakan bentuk ketidakpercayaan kepada langkah Polri dalam penanganan kasus itu.
Sebab, desakan pembentukan TGPF oleh masyarakat sipil telah ada sejak peristiwa terjadi, 11 April 2017. Ketika TPF mewawancara Novel, tambah Hendardi, Novel juga menyampaikan hanya akan memberikan bukti-bukti terkait kasusnya ketika TGPF dibentuk.
“Kalau TGPF dibentuk, penyelidik dan penyidiknya tentu dari Polri, kemudian hasil akhir TGPF akan mengeluarkan rekomendasi yang juga akan ditindaklanjuti oleh Polri. Sejak awal kasus ini, kami menganggap sudah ada opini yang dikembangkan untuk mediskreditkan polisi dan tim bentukan Polri,” ujar Hendardi.
Padahal, kata dia, TPF telah membuka kesempatan bagi para masyarakat sipil dan Novel untuk memberikan bukti dan petunjuk dalam penanganan kasus itu. Tetapi, selama enam bulan TPF bekerja tidak ada respon dari sejumlah pihak itu. Atas dasar itu, TPF berkerja melalui hasil penyelidik Kepolisian Daerah Metro Jaya serta sejumlah temuan dari lembaga pengawas, seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Komisi Kepolisian Nasional.
Langkah itu, di antaranya, dengan memeriksa kebenaran alibi empat orang yang sempat diduga pelaku oleh tim penyidik. Ketika petunjuk kasus itu tidak dapat lagi ditemukan dari tempat kejadian perkara, maka TPF mengembangkan probabilitas motif untuk menemukan berbagai kemungkinan yang mendasari peristiwa penyerangan itu.
“Kami beritikad betul mengungkap kasus itu, tetapi kami tidak akan mengorbankan orang yang tidak bersalah menjadi bersalah. Kami tentu berharap sama bahwa kasus ini harus diungkap demi keadilan untuk Novel," kata Hendardi.