Fokus proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau PLTSa di Indonesia seharusnya fokus pada target pengurangan sampah. Pemerintah pun diminta mengevaluasi secara serius proyek PLTSa yang sudah berjalan sebagai bahan kajian pembangunan proyek-proyek baru.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fokus proyek pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa di Indonesia seharusnya pada target pengurangan sampah. Pemerintah pun diminta mengevaluasi secara serius proyek PLTSa yang sudah berjalan sebagai bahan kajian pembangunan proyek-proyek baru.
Ketua Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) serta Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto mengatakan, Kamis (18/7/2019), PLTSa seharusnya difokuskan pada upaya untuk mengolah dan mengurangi sampah secara masif. Bukan difokuskan untuk menghasilkan energi listrik.
”Pengelolaan sampah merupakan pelayanan jasa kebersihan yang dapat dijadikan modal untuk menarik investasi, sedangkan listrik dari PLTSa hanyalah hasil sampingan,” katanya seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Kompas.
Proyek PLTSa awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan nilai ekonomis sampah menjadi pendapatan asli daerah. Namun pada pelaksanaannya justru tidak dapat memenuhi nilai tersebut. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah proyek pemanfaatan gas sampah yang sudah berjalan.
Proyek Power House penangkapan gas-gas sampah menjadi listrik di TPST Bantargebang dengan investasi lebih Rp 360 miliar sebelumnya ditargetkan menghasilkan tenaga 26 megawatt. Namun, pada kenyataannya hanya mampu menghasilkan tenaga di bawah 1 megawatt.
Proyek Landfill Flaring Gase (LFG) di TPA Sumurbatu yang merupakan teknologi pembakaran gas metana (CH4) menjadi CO2 telah berhenti produksi karena mengalami kerugian serta mesinnya tidak dapat beroperasi. Bahkan, warga melayangkan protes lantaran limbah yang dihasilkan mengganggu mereka saat musim hujan.
”Tujuan utama perencanaan proyek PLTSa untuk meningkatkan nilai ekonomis sampah belum secara signifikan dapat mengurai problematika sampah di Indonesia,” kata Bagong.
Menurut dia, hal tersebut juga terlihat dari kemampuan PLTSa modern yang hanya mampu mengolah sampah 1.500-2.000 ton per hari. Hal itu tidak sebanding dengan, misalnya, jumlah sampah yang masuk ke TPST Bantargebang sebanyak 7.500-8.000 ton per hari.
APPI menilai perencanaan pada Proyek PLTSa dilakukan secara terburu-buru mengingat tidak ditemukannya standardisasi ketat dalam perencanaan, monitoring, implementasi, dan evaluasi. Pemerintah juga belum membentuk tim nasional untuk mengevaluasi implementasi proyek-proyek PLTSa di Indonesia.
”Kendala lain, sampah yang telah disortir sebagai bahan baku utama belum memenuhi target,” kata Bagong.
Dalam hal ini, APPI menilai belum ada dukungan dari pemerintah daerah untuk memilah bahan baku sampah guna memperlancar operasional PLTSa. Menurut mereka, pemda perlu membuat sejumlah pilot project pemilahan sampah dari sumber untuk mendukung operasional PLTSa.
Langkah strategis
Dengan kondisi tersebut, APPI mendesak pemerintah agar melakukan langkah strategis dalam upaya pengolahan sampah yang berkelanjutan dan holistik melalui implementasi PLTSa. Langkah awal, Presiden harus melakukan mengkaji kembali perencanaan, pelaksanaan, dan pilihan teknologi proyek PLTSa.
Selanjutnya, Presiden harus menetapkan pengolahan sampah melalui PLTSa sebagai program strategis nasional sehingga koordinasi dan kerja sama lintas kementerian atau lembaga terkait dapat bersinergi dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama mewujudkan PLTSa berkapasitas skala besar, modern, dan canggih.
Terakhir, presiden perlu membentuk tim khusus yang melaporkan secara langsung perkembangan implementasi proyek PLTSa dengan melibatkan berbagai ahli dan lembaga independen perwakilan masyarakat peduli sampah dan lingkungan. Tim harus dapat mempercepat dan memperkuat kerja-kerja lapangan secara kolaboratif dan dinamis.