Saatnya Presiden Ambil Alih Kasus Novel
Presiden Jokowi sudah saatnya membentuk tim independen untuk mengusut kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan.
JAKARTA, KOMPAS - Kini, saatnya Presiden Joko Widodo mengambil alih pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, dengan cara membentuk tim gabungan pencari fakta. Pasalnya, kasus yang terjadi 11 April 2017 itu belum juga terungkap.
Setelah bekerja enam bulan, tim pencari fakta (TPF) yang dibentuk Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian juga belum dapat mengungkap secara jelas motif dan pelaku kasus tersebut. TPF yang bekerja sejak 8 Januari 2019 itu baru menemukan kemungkinan bahwa penyerangan terhadap Novel didasari oleh kasus yang ditangani dan dialami Novel. TPF juga menemukan ada tiga orang tak dikenal yang hadir di sekitar rumah Novel di kawasan Kelapa Gading, Jakarta, sebelum Novel disiram air keras.
TPF lalu merekomendasikan kepada Polri untuk membentuk tim teknis lapangan guna menindaklanjuti temuan tersebut dan melakukan penyelidikan lanjutan.
”Kami bayangkan hasil kerja tim ini (TPF) sudah langsung menemukan siapa calon tersangka. Tapi, dari yang kita lihat, belum ada calon tersangka. Bahkan, pelaku lapangan juga belum ditemukan,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Rabu (17/7/2019), di Jakarta.
Istri Novel, yaitu Rina Emilda, menyatakan tak puas dengan hasil kerja TPF. ”Dari awal keluarga ingin tim gabungan pencari fakta independen (yang dibentuk Presiden) untuk mengungkap kasus ini. Sebab, sudah sangat lama kasusnya, tetapi belum ada pelaku lapangan yang terungkap, apalagi otak daripelakunya,” ujarnya.
Perlunya Presiden membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus Novel juga beberapa kali disampaikan sejumlah pegiat gerakan masyarakat sipil. Ini karena menurut Wana Alamsyah dari Indonesia Corruption Watch, penyerangan terhadap Novel harus dilihat sebagai bagian dari serangan sistematis untuk melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi secara umum.
Terkait kasus Novel, pada 14 Januari 2019, Presiden menyatakan, tugasnya adalah mengawasi dan memonitor agar kasus Novel segera selesai diusut (Kompas, 15/1/2019).
Sebelumnya, 20 Februari 2018, Presiden juga menyatakan akan terus mengejar Polri untuk mengusut kasus Novel. Jika Polri sudah angkat tangan dan tak mampu lagi mencari titik terang dari kasus ini, menurut Presiden, baru diambil langkah lain. Namun, tak disebutkan indikator yang menunjukkan Polri tak mampu menyelesaikan kasus ini dan batasan waktu pengusutannya (Kompas, 21/2/2018).
Laporan
Setelah bertugas selama enam bulan hingga 7 Juli 2019, TPF kasus Novel menghasilkan laporan setebal 2.700 halaman. Salah satu temuan TPF, menurut anggota tim pakar TPF, Nur Kholis, adalah adanya tiga orang tak dikenal yang hadir di sekitar rumah Novel di Kelapa Gading, Jakarta Utara, sebelum peristiwa penyiraman 11 April 2017.
Pertama, satu orang yang mendatangi rumah Novel pada 5 April 2017 untuk menanyakan baju gamis yang dijual keluarga Novel. Kedua, dua orang tak dikenal yang duduk di dekat tempat wudu Masjid Al-Ihsan pada 10 April 2017 dini hari. Di masjid itu, Novel menunaikan shalat Subuh sebelum dirinya disiram air keras.
Menurut Nur Kholis, TPF juga menemukan kemungkinan penyerangan terhadap Novel didasari kasus yang ditangani dan dialami oleh Novel. Kasus itu adalah korupsi KTP elektronik; korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar; korupsi mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi; korupsi mantan Bupati Buol, Sulawesi Tengah; dan kasus korupsi Wisma Atlet. Penyerangan Novel juga diduga terkait dengan keterlibatan Novel dalam kasus penembakan pencuri sarang burung walet di Bengkulu, 2004.
Serangan terhadap Novel, lanjut Nur Kholis, diduga hanya untuk membuat Novel menderita. Hal itu diperkuat dengan temuan asam sulfat yang digunakan untuk menyiram Novel berkadar larut tidak pekat.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal menuturkan, Kepala Polri telah memerintahkan Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Idham Azis memilih personel terbaik Polri guna menjadi anggota tim teknis lapangan yang akan menindaklanjuti temuan TPF. Tim itu akan bekerja selama enam bulan dan dapat diperpanjang.
Puri Kencana Putri dari Amnesty International Indonesia (AII) menilai, hasil kerja TPF adalah kemunduran karena penyelidikan Polri sebelumnya lebih maju. Kesimpulan TPF juga ada yang menyudutkan dan mendegradasi posisi Novel sebagai korban. AII akan berupaya membawa perkara Novel ke ranah internasional melalui kongres parlemen di Amerika Serikat.