Suku Bunga Acuan Turun, Pelonggaran Moneter Masih Bisa Berlanjut
Untuk pertama kali dalam dua tahun terakhir, Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen. Bank Indonesia juga memberikan sinyal pelonggaran kebijakan moneter lanjutan masih terbuka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lesu.
Oleh
Karina Isna Irawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk pertama kali dalam dua tahun terakhir, Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen. Bank Indonesia juga memberikan sinyal pelonggaran kebijakan moneter lanjutan masih terbuka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lesu.
”Ke depan, masih terbuka ruang bagi kebijakan moneter yang akomodatif sejalan dengan rendahnya perkiraan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Rapat Dewan Gubernur BI (RDG BI) pada 17-18 Juli 2018 memutuskan, suku bunga acuan BI, BI 7-day Reverse Repo Rate, turun 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen. Adapun suku bunga deposit facility atau simpanan rupiah bank di BI turun 25 bps menjadi 5 persen dan lending facility atau pinjaman rupiah bank dari BI juga turun 25 bps menjadi 6,5 persen.
Perry mengatakan, selain rendahnya inflasi, penurunan suku bunga acuan mempertimbangkan ketidakpastian pasar keuangan global yang mereda sejalan dengan sinyal dovish Bank Sentral AS, The Fed. Selain itu, juga meredanya perang dagang AS-China pasca-berlanjutnya perundingan kedua negara, serta stabilitas ekonomi eksternal.
”Secara keseluruhan, kondisi neraca pembayaran Indonesia terkendali. Defisit transaksi berjalan akan lebih rendah dari tahun lalu kisaran 2,5-3 persen,” kata Perry.
Ke depan, lanjut Perry, kebijakan moneter BI diarahkan tetap akomodatif baik melalui pelonggaran likuiditas ataupun penurunan suku bunga acuan. Namun, kenaikan suku bunga sebesar 175 bps pada 2018 tidak bisa dijadikan dasar untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar kenaikan tersebut.
Kebijakan yang akomodatif itu dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, BI menyadari penurunan suku bunga acuan tidak akan langsung berdampak terhadap perekonomian.
”Setidaknya dampaknya baru akan terlihat pada 2020. Ekonomi sektor riil akan tumbuh seiring penyaluran kredit dan suku bunga rendah,” katanya.
Penurunan suku bunga saat ini, lanjut Perry, untuk mengantisipasi risiko perekonomian akibat perang dagang. Jika suku bunga tidak turun, perekonomian bisa tumbuh di bawah 5,2 persen.
Daya tarik
Menurut Perry, penurunan suku bunga BI diyakini tidak menurunkan daya tarik investasi. Arus modal asing tetap masuk ke pasar keuangan domestik karena imbal hasil masih menarik dibandingkan negara-negara lain.
Arus modal asing yang masuk per Juni 2019 sebesar 9,7 miliar dollar AS atau setara Rp 180 triliun. ”Berinvestasi di Indonesia masih menarik. Selain stabilitas eksternal terjaga, investor juga memperhatikan kenaikan peringkat kredit Indonesia,” kata Perry.
Penurunan suku bunga BI diyakini tidak menurunkan daya tarik investasi. Arus modal asing tetap masuk ke pasar keuangan domestik karena imbal hasil masih menarik dibandingkan negara-negara lain.
Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro (LPEM) Universitas Indonesia mencatat, aliran modal masuk asing ke pasar domestik membuat imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia pada Juni 2019 lebih rendah dibandingkan Mei 2019. Imbal hasil tenor 10 tahun turun dari 7,8 persen menjadi 7,2 persen. Adapun imbal hasil tenor 1 tahun turun dari 6,6 persen menjadi 6,1 persen per Juni 2019.
Kepala LPEM Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, penurunan suku bunga tidak akan menghilangkan daya tarik investasi. Hal itu karena ada daya dorong dari penurunan tensi perang dagang AS-China dan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi negara maju.
Di sisi lain, kekhawatiran akibat dinamika perang dagang dan sikap The Fed yang mulai melunak, membawa arus modal masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Investor menganggap ada penurunan risiko apalagi setelah peringkat kredit Indonesia naik.
”Arus modal akan tetap masuk, mayoritas sudah dan akan terus diserap BI untuk menambah cadangan devisa. Namun, saat ini arus modal cukup deras, sehingga BI menurunkan suku bunga acuan,” kata Febrio.
Menurut Febrio, tren arus modal masuk yang relatif deras memungkinkan BI untuk menambah cadangan devisa dan menahan stabilas nilai tukar di kisaran Rp 14.000-Rp 14.300 per dollar AS. Kedua hal itu yang memperkuat kebijakan penurunan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen bulan ini.
Lembaga keuangan multinasional Morgan Stanley, sebagaimana dikutip dari Bloomberg, melihat peluang penurunan suku bunga akan berlanjut sampai akhir tahun.
”Pemangku kebijakan memiliki ruang untuk pemangkasan suku bunga seiring penurunan imbal hasil surat utang AS tenor 10 tahun dan harga minyak global,” kata Head of Asia ex-Japan FX and Rates Strategy at Morgan Stanley in Hong Kong, Min Dai.
Dai berpendapat, kurs rupiah sampai akhir tahun akan berada di kisaran 14.000 per dollar AS sebelum menguat menjadi Rp 13.800 per dollar AS pada Maret 2019. Imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun juga turun menjadi 7 persen pada Desember 2019.
Likuiditas
Terkait likuiditas, Perry menambahkan, penurunan suku bunga acuan akan dibarengi penurunan suku bunga perbankan. BI optimistis kredit perbankan tumbuh mencapai batas atas target, yaitu 12 persen. Adapun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sepanjang tahun ini ditargetkan 8-10 persen.
”Suku bunga perbankan diyakini turun karena likuiditas sudah ditambah saat ini dengan penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran giro wajib minimum (GWM), ke depan dengan operasi moneter,” kata Perry.
Dalam RDG BI bulan lalu, BI juga menurunkan rasio GWM perbankan sebesar 50 bps untuk melonggarkan likuiditas perbankan. Melalui kebijakan itu, BI berharap kecukupan likuiditas perbankan dapat bertambah hingga Rp 25 triliun dalam setahun ini.
Perry menambahkan, DPK sudah meningkat dari 6,6 persen pada April 2019 menjadi 6,7 persen pada Mei 2019. Sementara itu, pertumbuhan bunga kredit pada Mei 2019 tercatat 11,1 persen secara tahunan, stabil dibandingkan April 2019.
Pelonggaran likuiditas mendesak dilakukan karena berdasarkan Peraturan BI Nomor 17/11/PBI/2015, batas bawah rasio kredit terhadap pinjaman (LDR), yang kemudian berubah menjadi rasio pinjaman terhadap penghimpunan dana (LFR), diatur sebesar 78 persen. Sementara batas atasnya ditetapkan 92 persen.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpahan (LPS), rasio LDR berada di level 96 persen per Mei 2019. Padahal, sepanjang Januari-April 2019, likuiditas sempat melonggar menjadi sekitar 93-94 persen.