Kata hak asasi manusia hampir selalu ditekankan kepada penegak hukum saat mereka menjalankan tugas. Namun, kata itu juga sering dipakai sebagian tahanan kasus korupsi untuk meminta fasilitas lebih di ruang tahanan.
Sekitar pertengahan Juni 2019, tersebar petisi yang ditandatangani 15 penghuni rumah tahanan (rutan) cabang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berada di belakang Gedung Merah Putih, Jakarta. Petisi yang antara lain ditandatangani mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan M Romahurmuziy ini dipicu langkah KPK yang menyita alat masak listrik sederhana.
Dalam petisinya, para tahanan menuntut adanya pertimbangan hak asasi, asas praduga tak bersalah, asas pengayoman, hingga terjaminnya hak tahanan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundangan. Menurut mereka, penyitaan alat masak itu mengakibatkan makanan yang dikirim keluarga lekas rusak dan tak bisa disantap. Oleh karena itu, mereka meminta alat pemanas tersebut segera dikembalikan.
Para tahanan juga mempersoalkan pemborgolan saat mereka masuk atau keluar dari gedung KPK. Menurut mereka, pemborgolan itu tidak masuk akal karena para tahanan tidak mungkin melarikan diri. Sebelumnya, KPK menyatakan, pemborgolan dilakukan sebagai bagian dari pemberian efek jera bagi para koruptor.
Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah tahanan Negara dinyatakan, setiap tahanan antara lain dilarang melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin dan/atau alat elektronik lainnya. Hal ini termasuk alat pemanas makanan. Sementara fasilitas yang perlu dipenuhi di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rutan antara lain kesempatan beribadah, perawatan kesehatan, dan kantin yang dikelola oleh koperasi lapas dan rutan.
Namun, dalam praktik selama ini, ditengarai pelaksanaan aturan itu tidak selalu seragam. Di Lapas Sukamiskin, Bandung, misalnya, pernah terungkap ruang tahanan sejumlah narapidana perkara korupsi disulap mirip sebuah kamar kelas studio apartemen yang dilengkapi penyejuk ruangan, tempat tidur, dan kamar mandi.
Saat mengunjungi Rutan Tahanan Sialang Bungkuk di Pekanbaru beberapa waktu lalu, Kompas juga menemukan perbedaan yang signifikan antara blok untuk para tahanan tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi.
Dua blok yang ditempati para tahanan tindak pidana umum penuh sesak orang, pengap, bahkan jatah air terbatas. Sementara sebuah blok yang bersebelahan dengan dua blok itu terasa lega dengan sirkulasi udara yang cukup, kipas angin, dan televisi. Penghuninya pun hanya berkisar 15 orang sehingga satu sel dapat ditempati seorang diri. Saat itu, keluhan yang disampaikan para tahanan tindak pidana korupsi cukup membuat miris. Mereka mengeluhkan matinya pemanas air di blok mereka, padahal dua blok lainnya memperoleh air saja sulit.
Layak
Direktur Pelayanan Tahanan Pengelolaan Barang Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara Kemenkumham Heni Yuwono menyampaikan, kondisi rumah tahanan KPK cukup layak dan manusiawi.
”Dari segi fasilitas, tempat tidur dan kamar mandi sangat bagus. Mereka juga punya ruang untuk berinteraksi,” kata Heni.
Fasilitas yang ada di rutan KPK adalah sebuah kasur busa, sebuah kontainer plastik untuk meletakkan barang pribadi, kamar mandi dengan toilet jongkok di tiap sel yang berkapasitas empat tahanan, kipas angin, televisi, dispenser, dan ruang berangin-angin.
Penerapan yang dilakukan KPK ini berupaya menerjemahkan juga gagasan Menteri Kehakiman (saat itu) Sahardjo pada awal 1960-an. Ia mengatakan, penjara tidak hanya untuk menghukum orang yang melakukan tindak pidana. Penjara terutama juga untuk menyiapkan orang yang dijatuhi pidana kembali ke masyarakat. Pemikiran ini lalu memunculkan istilah lapas.
Hak asasi pun dipenuhi sesuai dengan batasan dan aturan yang ada agar tetap menyadarkan para tahanan untuk tidak mengulangi perbuatan saat kembali ke masyarakat. Pemenuhan hak asasi ini juga sebagai pengejawantahan pengayoman yang menjadi logo dari Kemenkumham.
Menanggapi hal ini, Juru Bicara KPK Febri Diansyah berpendapat, menjadi tahanan memang memiliki banyak pembatasan. ”Jika ingin hidup bebas, semestinya sejak awal tidak melakukan perbuatan yang menyalahi aturan yang berlaku, khususnya dalam konteks ini dugaan korupsi,” ujar Febri.
Akhirnya, memakai HAM untuk memenuhi kepentingan sendiri dari para pelaku korupsi terdengar mengelabui masyarakat negeri ini. Jika memahami dan melaksanakan makna dari HAM, mestinya tak perlu lagi ada orang yang harus dipenjara karena korupsi.