Ajakan Presiden terpilih Joko Widodo kepada pihak-pihak yang berseberangan saat Pemilu Presiden 2019, untuk turut berkontribusi membangun bangsa, hendaknya tidak hanya diterjemahkan sebagai ajakan untuk bergabung dalam pemerintahan Jokowi selanjutnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Demokrasi membutuhkan oposisi untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang berkuasa. Maka, menjadi oposisi sama pentingnya dengan menjalankan kekuasaan pemerintahan.
Ajakan Presiden terpilih Joko Widodo kepada pihak-pihak yang berseberangan saat Pemilu Presiden 2019, untuk turut berkontribusi membangun bangsa, hendaknya tidak hanya diterjemahkan sebagai ajakan untuk bergabung dalam pemerintahan Jokowi selanjutnya. Pasalnya, kontribusi bisa juga diberikan dalam posisi sebagai oposisi.
Guru Besar Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Periode Kedua Jokowi: Merangkai Gerbong Pendukung vs Menata Barisan Oposisi" yang diselenggarakan oleh Para Syndicate, di Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Selain Haris, hadir pula sebagai pembicara diantaranya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, Wakil Sekjen Partai Demokrat Didi Irawadi, dan Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate.
Dengan vitalnya peran oposisi, Syamsuddin menilai, tidak perlu partai politik yang calonnya kalah di Pemilu Presiden 2019, berebut untuk bergabung dengan koalisi pendukung Presiden-Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, agar bisa masuk dalam pemerintahan Jokowi-Amin kelak.
“Demokrasi kita butuh oposisi untuk menyehatkan hubungan eksekutif dan legislatif meskipun tidak mesti oposisi itu berbeda dengan pemerintah. Selain itu ajakan membangun bangsa dari Pak Jokowi juga harus diterjemahkan dalam posisi yang berbeda, yakni dalam koalisi dan oposisi,” ujarnya.
Sekjen PAN Eddy Soeparno mengatakan, bagi PAN, perbedaan pendapat antara oposisi dan bukan saat ini tidaklah terlalu penting. Sebab, PAN telah menegaskan untuk mendukung setiap kebijakan pemerintah yang pro terhadap rakyat dan pembangunan.
Meski demikian, sikap resmi PAN pasca-Pemilu 2019, akan diputuskan dalam rapat kerja nasional (rakernas) PAN yang bakal segera digelar.
Sikap resmi Demokrat pun belum diputuskan. Majelis Tinggi Partai Demokrat yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono belum tuntas membahasnya.
Menurut Didi Irawadi, Demokrat akan mempertimbangkan tawaran untuk bergabung ke pemerintahan jika ada kecocokan dengan program yang akan dijalankan oleh pemerintahan terpilih.
Salah satunya, Demokrat ingin 14 program prioritas untuk kesejahteraan rakyat yang diperjuangkan oleh Demokrat, diadopsi oleh pemerintah. Program-program prioritas itu dikampanyekan oleh Demokrat selama masa kampanye Pemilu 2019.
Sementara itu, Johnny G Plate menegaskan, hingga saat ini belum ada pertemuan antara partai koalisi pengusung dan pendukung Jokowi-Amin di Pilpres 2019 dengan Jokowi untuk membahas pembagian kursi kabinet.
Menurutnya, setiap kali partai bertemu Jokowi, pembahasan terfokus pada tiga hal. Ketiganya terkait gagasan kebangsaan, penyelenggaraan lembaga negara, dan produktivitas kabinet.
“Jadi setiap pertemuan kami tidak membicarakan terkait hak prerogatif Presiden seperti struktur kabinet karena ini akan disusun oleh Presiden dan timnya. Kami juga tidak membicarakan nomenklatur kabinet,” jelasnya.