Keputusan Memberhentikan Guru di Simalungun Diminta Dicabut
Berbagai kalangan mendesak Bupati Simalungun mencabut surat keputusan memberhentikan sementara 1.692 guru sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, dari jabatan fungsionalnya karena belum bergelar S1. Hal itu sangat meresahkan para guru dan menganggu aktivitas belajar mengajar.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI/NIKSON SINAGA
·4 menit baca
PEMATANG RAYA, KOMPAS-Berbagai kalangan mendesak Bupati Simalungun mencabut surat keputusan memberhentikan sementara 1.692 guru sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, dari jabatan fungsionalnya karena belum bergelar S1. Hal itu sangat meresahkan para guru dan menganggu aktivitas belajar mengajar.
Menurut salah seorang guru SMP, Jumat, (19/7/2019), surat keputusan itu diterima mendadak dan berlaku 26 Juni. “Kami shocked menerimanya. SK berlaku 26 Juni, saat sudah libur, karena 15 Juni sudah terima rapor,” kata dia.
Akan tetapi, saat mulai tahun ajaran baru, Senin lalu, dia tetap datang ke sekolah karena sudah lebih 30 tahun mengajar. Ia mengatakan, jiwanya sangat dekat dengan murid-muridnya.
Guru berumur 55 tahun itu menyatakan, sudah menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 2012 dan mendapatkan sertifikasi pada 2013. Namun, gelarnya tidak dicantumkan. Karena SK itu, tunjangan profesinya semester I tahun ini belum ia terima. Padahal tunjangan rata-rata lebih dari Rp 20 juta untuk enam bulan.
Di sekolahnya terdapat belasan guru yang diberhentikan. Rata-rata sudah berpendidikan S1 namun hanya belum mencantumkan gelarnya.
“Kami kecewa dengan terbitnya SK itu,” kata guru berstatus pegawai negeri sipil itu. Para guru pun menyusulkan berkas-berkas yang dianggap perlu ke dinas agar pendidikan S1 mereka diakui. Sesuai SK, para guru mendapat kesempatan untuk mengurus gelar pendidikan S1-nya hingga bulan November 2019.
Seorang guru lain yang juga tidak mau disebut namanya mengaku sudah merencanakan tunjangan profesi untuk biaya kuliah anaknya. "Sudah lulus SMA tahun ini kuliah, tapi berantakan jadinya," kata guru berumur 58 tahun itu.
Ia berpendidikan D1 hasil rekrutmen program D1 yang diangkat tahun 1982. "Penempatan pertama saya di Gunung Meriah, Deli Serdang. Berangkat mengajar harus jalan kaki lepas sepatu, kaki dimakan pacet," kata dia.
Dirinya tidak meneruskan kuliah karena ditempatkan di tempat terpencil. Ia kembali ke Simalungun karena orang tuanya meninggal. Saat mendapat SK penghentian mengajar, ibu guru itu mengaku tidak kuasa menerima dan hanya menangis.
"Sudah habis air mata saya. Saya dijanjikan bekerja di bidang administrasi," kata dia.
Alasan kemanusiaan
Ketua Fraksi Nasional Demokrat DPRD Kabupaten Simalungun Bernard Damanik mengatakan, surat keputusan itu terbit tiga kali. Dari 1.692 guru yang diberhentikan, ada 703 guru yang diberhentikan permanen dan 992 guru yang diberhentikan sementara.
Guru yang diberhentikan permanen adalah guru yang baru menamatkan pendidikan sekolah menengah atas. Sementara guru yang diberhentikan sementara menempuh pendidikan diploma. Namun, 75 persen guru yang diberhentikan sudah menempuh pendidikan S1, sudah mengikuti sertifikasi, dan mendapatkan tunjangan profesi. Hanya saja, mereka belum mencantumkan gelarnya.
“Kami mendukung perbaikan kualitas guru sesuai UU 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen dan PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru. Namun, kami meminta agar SK dicabut demi keadilan dan kemanusiaan,” kata Bernard.
Apalagi, saat ini, Simalungun masih kekurangan 2.850 guru. Dengan ditahannya tunjangan profesi guru, ada miliaran dana tunjangan profesi yang kini mengendap di kas Pemkab Simalungun. "Padahal para guru sudah mendapatkan SK Dirjend (Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan) untuk mendapatkan tunjangannya," kata Bernard.
Pendamping guru dari Aliansi Mahasiswa Siantar-Simalungun Alboin Samosir mengatakan, para guru ketakutan untuk berbicara soal ini. Banyak yang tidak lagi mengajar terutama guru-guru SD, sehingga banyak sekolah semakin kekurangan guru.
Belakangan, justru muncul edaran dari dinas pendidikan yang meminta kepala sekolah SD yang kekurangan guru menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk mengatasi hal itu.
“Kami menyayangkan proses ini karena mengabaikan profesionalitas dan pengabdian guru. Rata-rata guru yang diberhentikan sudah berusia lebih 55 tahun dan tidak memerhatikan gelar akademik,” kata Alboin.
Dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Simalungun Rabu lalu, DPRD telah meminta Bupati Simalungun JR Saragih membatalkan penghentian 1.695 guru yang bukan sarjana dari jabatan fungsional. Kebijakan itu tidak tepat di tengah kondisi Simalungun yang kekurangan guru. Banyak guru yang sudah hendak pensiun dipaksa kuliah dan ditahan tunjangan sertifikasinya.
“Kebijakan tersebut tidak adil bagi guru, terutama mereka yang sudah mengabdi lebih dari 20 tahun dan sebentar lagi akan pensiun. Pemkab Simalungun juga menahan tunjangan sertifikasi guru-guru tersebut, padahal sudah dicairkan dari pemerintah pusat,” kata Wakil Ketua DPRD Simalungun Rospita Sitorus.
Rospita mengatakan, seluruh fraksi di DPRD Simalungun sudah menolak kebijakan itu saat menyampaikan pandangan umum pada Rapat Paripurna tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah. Dalam kesempatan itu hadir juga Sekretaris Daerah Kabupaten Simalungun Gidion Purba.
Seluruh fraksi di DPRD Simalungun sudah menyatakan penolakannya terhadap kebijakan penghentian guru tersebut saat menyampaikan pandangan umum pada Rapat Paripurna tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah. (Rospita Sitorus)
“Alasan JR Saragih meningkatkan kualitas guru juga tidak masuk akal. Mereka diminta kuliah untuk mendapat gelar S1 hingga November 2019. Kualitas apa yang didapat dari gelar sarjana dengan kuliah empat bulan ?,” katanya.
Rospita mengatakan, banyak guru-guru yang terpaksa kuliah lagi. Mereka membayar Rp 18 juta untuk mendapat ijazah S1. Padahal, mereka tidak benar-benar mengikuti kuliah itu. Namun, para guru terpaksa membayar untuk mendapat ijazah. Guru-guru tersebut juga ingin tunjangan sertifikasinya bisa cair lagi.
Sekda Kabupaten Simalungun Gidion Purba mengatakan, akan berkoordinasi dulu dengan dinas terkait. “Saya akan memanggil kepala dinas pendidikan untuk menjelaskan hal ini,” kata dia.