Akhir Juni 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk dua jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dari dua jaksa itu, yakni Yadi Herdianto dan Yuniar Sinar Pamungkas, KPK menyita uang 28.974 dollar Singapura dan 700 dollar AS.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Akhir Juni 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk dua jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dari dua jaksa itu, yakni Yadi Herdianto dan Yuniar Sinar Pamungkas, KPK menyita uang 28.974 dollar Singapura dan 700 dollar AS.
Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala, menaruh perhatian serius pada kinerja kejaksaan. Tidak hanya kasus korupsi, ada sejumlah laporan negatif yang masuk ke Ombudsman terkait dengan kinerja kejaksaan. Karena itu, perlu ada penguatan peran dari pengawas eksternal kejaksaan, yakni Komisi Kejaksaan.
”Kami membangun argumen melalui banyaknya laporan yang masuk, banyaknya isu kontroversial, korupsi jasa, dan survei-survei yang kami lakukan. Kami berkesimpulan pengawas eksternalnya kurang kuat,” kata Adrianus, Jumat (19/7/2019), di Jakarta.
Data Ombudsman, dari rentang 2017 hingga 2019, terdapat 228 laporan terkait dengan kejaksaan. Substansi laporan itu antara lain tindakan penyimpangan yang dilakukan jaksa, tindakan sewenang-wenang dalam proses penyidikan perkara, dan belum ada tindak lanjut atas penanganan perkara korupsi yang dilaporkan masyarakat ke Kejaksaan Agung.
Atas dasar itu, Ombudsman menggelar diskusi tematik bertajuk ”Komisi Kejaksaan dan Peran Pengawasan terhadap Kejaksaan Agung”. Hadir pada diskusi itu pakar hukum pidana Asep Iwan Iriawan, Ketua Divisi Kebijakan Hukum Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI Andreas Nathaniel Marbun, dan mantan Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen.
Selain itu, hadir juga Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan Fadil Zumhana, Ketua Panitia Seleksi Komisi Kejaksaan Basrief Arief, Jaksa Agung Muda Pengawasan M Yusni, dan Sekretaris Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak.
Semua pembicara sepakat bahwa Komisi Kejaksaan harus dikuatkan. Asep Iwan Iriawan menilai, tumpulnya Komisi Kejaksaan merupakan konsekuensi undang-undang yang mengaturnya. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menerangkan, untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden.
”Kata ’dapat’ dalam undang-undang itu tidak mewajibkan komisi ini harus ada. Artinya, Komjak (Komisi Kejaksaan) ini boleh ada boleh tidak,” katanya.
Menurut Asep, undang-undang itu harus direvisi. Intinya, revisi yang mewajibkan Komisi Kejaksaan sebagai pengawas eksternal harus tetap ada. Selain itu, kewenangan Komisi Kejaksaan yang selama ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 harus diperluas. Selain menilai kinerja, Komisi Kejaksaan juga harus bisa menjatuhkan sanksi.
”Demi kepentingan publik dan transparansi, pengawasan eksternal menjadi suatu keharusan. Meski pengawasan internal berjalan maksimal, itu akan tetap berbenturan dengan transparansi,” katanya. Selain penguatan dasar hukum Komisi Kejaksaan, Andreas Nathaniel Marbun menilai, sumber daya manusia di Komisi Kejaksaan harus diperbanyak. Komisioner yang berjumlah sembilan orang itu tentu tak cukup mengawasi semua kejaksaan di Tanah Air.
”Permasalahan inti Komjak itu adalah tidak memiliki tenaga fungsional. Kalaupun ada kelompok kerja, sejauh ini terlihat belum berjalan,” katanya. Halius Hosen, yang pernah menjadi Ketua Komisi Kejaksaan, menambahkan, minimnya tenaga di Komisi Kejaksaan memang menjadi tantangan. Komisioner mengawasi jaksa yang berjumlah sekitar 20.000 orang.
”Ini pekerjaan malaikat. Kalau kinerja tentu bisa dipantau, tetapi bagaimana memantau perilaku 20.000 orang?” Katanya.
Kendati demikian, kata Hosen, kehadiran lembaga ini menjadi sangat penting, terutama dalam memastikan tepatnya penuntutan. Dia bercerita, suatu ketika, ia pernah didatangi seorang istri yang mengeluh suaminya akan dituntut 10 tahun penjara. Suaminya diduga memerkosa anak kandungnya yang berumur lima tahun.
Merespons hal itu, Komisi Kejaksaan meminta jaksa untuk melakukan ekspose terhadap kasus itu. Hasilnya, tidak ditemukan landasan kuat penuntutan 10 tahun itu. Pengadilan pun akhirnya membebaskan yang bersangkutan. ”Jaksa itu memikul tugas kemanusiaan yang luar biasa,” katanya.
Barita Simanjuntak menegaskan, Komisi Kejaksaan tidak berpretensi untuk mengambil alih tugas pengawasan internal. Kalau ada laporan, keluhan, atau kasus yang menarik perhatian publik, tetapi tidak ditangani dengan baik atau ada kesan konflik kepentingan dalam penyelesaiannya, di situlah peran Komisi Kejaksaan untuk menggedor pengawas internal.
Jaksa Agung Muda Pengawasan M yusni, yang bertanggung jawab terhadap pengawasan internal, tidak henti-hentinya melakukan perbaikan. Dalam praktiknya, pengawas melakukan inspeksi umum, inspeksi khusus, hingga pemantauan. ”Mungkin jaksa di daerah itu sampai bosan melihat wajah kami,” katanya.
Kendati demikian, memang masih ada sejumlah oknum kejaksaan di daerah yang memperlakukan pengawas bak raja. Ketika datang, pengawas diberi macam-macam. ”Mungkin supaya kami ’ngantuk’ sewaktu melakukan pengawasan,” katanya.
Dia menambahkan, hal itu diantisipasi dengan menggunakan anggaran mandiri ketika berkunjung ke daerah. ”Pengawas bukan lagi raja yang harus dilayani,” katanya.
Saat ini, kata Ketua Panitia Seleksi Komisi Kejaksaan Basrief Arief, sedang berlangsung seleksi komisioner. Dari 88 pelamar, ada 45 orang yang lulus ke tahap uji psikotes. Akhir Juli ini akan diumumkan. Pada 8 Agustus akan diadakan debat publik. ”Kami butuh masukan dari masyarakat,” katanya.