Otoritas Jasa Keuangan sedang mengidentifikasi model bisnis teknologi finansial yang tengah berkembang di Indonesia, yakni agregator atau pengumpulan informasi. OJK berencana memagari bisnis agregator dengan peraturan agar tidak menyeberang ke wilayah perizinan model bisnis lain.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan sedang mengidentifikasi model bisnis teknologi finansial yang tengah berkembang di Indonesia, yakni agregator atau pengumpulan informasi. OJK berencana memagari bisnis agregator dengan peraturan agar tidak menyeberang ke wilayah perizinan model bisnis lain.
Dalam dua batch regulatory sandbox OJK, model bisnis agregator menjadi yang paling diminati perusahaan rintisan. Total terdapat 15 model bisnis agregator yang terpilih dari 48 permohonan untuk diuji oleh OJK.
Agregator adalah penyambung konsumen dengan produk atau jasa perusahaan tertentu. Mereka mengumpulkan berbagai informasi produk atau jasa dari perusahaan untuk ditampilkan kepada konsumen. Konsumen bisa membandingkan kelebihan dan keuntungan memilih sebuah produk hanya lewat perusahaan agregator.
Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital OJK Triyono menjelaskan, agregator perlu diatur karena mereka suka menyeberang ke model bisnis lain, seperti keagenan. Contohnya, agregator mengumpulkan data pengguna untuk kemudian memberikan layanan skor kredit atau credit scoring.
”Model bisnis ini semakin berkembang. Harus diatur karena mereka suka tergoda ke penilaian konsumen atau credit scoring. Ini, kan, tidak boleh sebenarnya,” kata Triyono pada Jumat (19/7/2019), di Gedung OJK, Jakarta.
Menurut Triyono, kehadiran model bisnis agregator sangat baik. Hal itu membantu konsumen agar mempermudah dalam memilih barang. Mereka bisa memengaruhi konsumen dalam pembelian barang ataupun jasa.
Meski demikian, agregator yang semakin banyak membuat OJK perlu mengaturnya. Hal itu dilakukan untuk menjaga kemurnian bisnis agar perusahaan agregator tidak menyeberang ke wilayah perizinan model bisnis yang lain.
OJK meyakini peraturan ini sekaligus akan memacu pertumbuhan perusahaan agregator di Indonesia. ”Biasanya setelah adanya peraturan, perkembangan baru terjadi, seperti saat kami mengeluarkan peraturan untuk fintech peer to peer lending. Setelah itu langsung ramai,” kata Triyono.
Data Asosiasi Fintech Indonesia pada 2018 menunjukkan perusahaan agregator sudah cukup banyak. Dari 235 perusahaan tekfin, sebanyak 26 perusahaan atau lebih dari 10 persen bergerak di model bisnis agregator.
Triyono memperkirakan, ke depan akan banyak model bisnis baru yang membutuhkan aturan. Salah satunya adalah model bisnis verifikasi digital yang menawarkan jasa penyimpanan tanda tangan secara daring. Konsumen bisa memberikan tanda tangan ke perusahaan lain hanya dari penyedia verifikasi digital.
”Kami lihat ke depan model bisnis ini akan berkembang. Bisnis ini ada risikonya. Untuk itu, perlu ada peraturan karena, kan, ini menyangkut perlindungan data pribadi. Aturannya nanti seputar itu,” ujar Triyono.
Dari 235 perusahaan tekfin, sebanyak 26 perusahaan atau lebih dari 10 persen bergerak di model bisnis agregator.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, mengatakan, model bisnis tekfin agregator bukan ranah dari OJK. Sebab, sifatnya hanya mengumpulkan informasi.
Huda menyarankan, OJK lebih baik membicarakan dulu wacana ini ke kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika yang melindungi bisnis aplikasi.
”Data dan informasi yang dikumpulkan dan disajikan ke konsumen pun data tekfin yang notabene bisa diakses sendiri oleh konsumen. Saya kira belum perlu itu,” ujar Huda.