”Museum” Hidup Arswendo Atmowiloto
Rumah penulis Arswendo Atmowiloto yang teduh di Jakarta Selatan bukan sekadar hunian. Rumah itu menjadi ”museum” hidup yang menyimpan benda dan kenangan yang dipungutinya sepanjang hidup.
Budayawan, sastrawan, dan wartawan senior Arswendo Atmowiloto meninggal dunia pada Jumat (19/7/2019) pukul 17.50 di kediamannya di Jakarta. Berdasarkan informasi yang diterima Redaksi Kompas, jenazah Arswendo kini disemayamkan di kediamannya di Kompleks Kompas B-2, Jalan Damai, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan.
Berikut ini merupakan kisah tentang Arswendo dan aktivitas di rumahnya, yang dimuat di harian Kompas, Minggu (21/7/2013).
Rumah penulis Arswendo Atmowiloto yang teduh di Jakarta Selatan bukan sekadar hunian. Rumah itu menjadi ”museum” hidup yang menyimpan benda dan kenangan yang dipungutinya sepanjang hidup.
Nyaris 30 tahun rumah dengan bangunan seluas 200 meter persegi dan tanah 300 meter persegi itu menjadi bagian hidup Arswendo Atmowiloto (64). Kami memanggil pria asal Solo bernama lahir Sarwendo itu sebagai Mas Wendo.
Seiring waktu, isi rumah tak lagi hanya menggambarkan Arswendo yang seorang penulis, jurnalis, kritikus televisi, dan pemilik rumah produksi, tetapi juga Wendo sebagai seorang anak, ayah, kakek, dan pencinta hewan.
Kebersamaan keluarga Wendo dengan rumah itu sejak wujudnya masih berupa hamparan tanah. Sebelum tumbuh bangunan di atasnya, Wendo mengajak ibunya, Sarjiyem, mengunjungi tapak bakal perumahan karyawan perusahaan Kompas, media tempatnya pernah bekerja.
”Almarhum ibu waktu itu lumpuh karena stroke. Jalan pun susah, tapi saya melihat kilatan senang di matanya. Saya bilang, ’Suatu saat kita akan hidup di sini’. Rasanya bangga sekali.” Arswendo yang pagi itu bersarung kotak-kotak dan berkaus oblong bercerita tentang rumahnya di teras yang lapang.
Wendo kenal benar riwayat rumah hingga di balik tanahnya. Dia tahu persis di bawah lantai terasnya tertanam tiga lantai teras lama. Setiap kali Wendo ingin memasang keramik baru, dia tak membongkar lantai yang telah usang. Tak ingin membuang bagian dari rumah itu.
Wendo pun hafal tempatnya menguburkan anjing kesayangannya: Jili, Gebil, Yesi, dan Coki. Si Jili dikuburkannya lengkap dengan dasi dan upacara di halaman belakang. Si Gebil ditanam dengan balutan sarung kesayangan Wendo, bentuk penghormatan kepada hewan setia itu. Wendo memang sayang kepada anjing-anjingnya.
”Pernah anjing saya berusaha diselundupkan istri saya ke penjara. Dibawa kayak bayi, pakai selimut. Tapi, polisinya digonggong, jadi ketahuan deh, ha-ha-ha,” ujarnya. Ia teringat masa lima tahun berada di balik tembok penjara.
Sejak hadir para cucu, Wendo dan istrinya, Agnes Sri Hartini (64), tak lagi memelihara anjing.
”Artefak” kehidupan
Benda kenangan dan simbol-simbol masa lalu di rumah itu ibarat cuplikan kehidupan Arswendo. Bagi Wendo, kehilangan rumah itu ibarat kehilangan identitas.
Begitu menapak teras rumah, gajah-gajah kayu kenangan menyambut dengan belalainya. Bentukan gajah masih menampakkan diri hingga di ruang tamu. Kata Wendo, istri dan cucu boleh saja mengutak-atik rumah. Namun, Wendo akan bersikukuh agar gajah-gajahnya mendapat tempat.
”Kok, gajah?”
”Saya asalnya dari daerah Gajahan, Solo. Itu dulunya dekat kandang gajah,” ujarnya enteng tentang tempat tinggal pada masa lalunya itu.
Kenangan Wendo akan orangtua terekam dalam lukisan ibu dan ayahnya di atas rak kayu yang menghabiskan seluruh dinding ruang makan. Ayah Wendo, Joko Kamid, yang berpulang saat Wendo duduk di kelas lima SD, dilukis mengenakan belangkon dan beskap.
Sementara sang ibu dilukis berkebaya, bersanggul, dengan kalung melingkar di leher. Kata Wendo, kalung dalam lukisan ibunya itu sengaja ditambahkan agar ibunya terabadikan dengan berhias.
Jejak perjalanan Wendo sebagai seorang penulis tersimpan rapi di ruang kerjanya. Komputer dengan floppy disk yang menua duduk rapi di meja kerja. Benda yang masih berfungsi itu dipertahankannya walau menjadi bahan tertawaan para cucu yang menganggapnya jadul (zaman dulu).
Ketika tangannya menari di atas keyboard komputer (atau dulu mesin tik) itulah lahir skenario, novel, cerpen, atau naskah drama.
Sekadar menyebut beberapa karya, ada skenario Arie Hanggara (FFI 1986), Pacar Ketinggalan Kereta (FFI 1989), Jendela Rumah Kita (1995), serta Keluarga Cemara. Lainnya, novel Canting, Kau Memanggil Ku Malaikat, Blakanis, serta Senopati Pamungkas. Ia juga menulis buku yang dicetak berulang kali, Mengarang Itu Gampang.
Di dinding ruang kerja itu pula terpaku bingkai berisi artikel, ilustrasi karikatur dirinya, lukisan diri, dan penghargaan yang dianugerahkan kepadanya. Sebuah foto Wendo dengan beskap dan belangkon menarik perhatian.
”Yang menarik itu pinnya. Itu tanda pengabdian saya selama 50 tahun di Keraton Surakarta. Itu berarti waktu mulai mengabdi umur saya baru tiga tahun, he-he-he,” ujarnya tentang gelar yang dianugerahkan kepadanya tahun 2001 itu.
Sementara di dinding ruang belakang rumah berjajar lukisan kapas. Wendo dan teman-temannya membuat lukisan-lukisan unik itu ketika menghuni lapas. Kapas warna-warni disusun mencipta ragam bentuk.
Ketika dia keluar dari lapas, sebagian lukisan itu dibawanya pulang. Wendo tak bisa diam. Di dalam bui sekalipun dia produktif. Termasuk dalam menulis. Sesaknya penjara tak menghalangi akal.
”Tempat itu ada dalam pikiran. Saya tidak terganggu dengan situasi sekitar saya ketika menulis,” ujar Arswendo. Dari balik jeruji, tercipta sejumlah cerpen dan novel, antara lain Menghitung Hari (1996) yang diangkat dari pengalamannya dalam penjara.
Rumah cucu
Kini, rumah yang sejuk dengan pepohonan di halaman itu tak hanya menyimpan kenangan Arswendo, tetapi juga membentuk kenangan bagi cucu-cucunya.
”Di rumah ini, julukan saya adalah mbah kakung bebas pulsa, ha-ha-ha,” kata Wendo yang murah canda.
Lima cucu yang tinggal tak jauh dari rumah itu wajib mengunjungi sang eyang.
”Mereka bebas melakukan apa saja sepanjang tidak berbahaya dan tidak merugikan orang lain. Mau tidur malam boleh, main game atau nonton juga boleh,” ujarnya.
Wendo selalu menganggap penting keluarga. Setiap kali libur, lima cucu yang tinggal tak jauh dari rumah itu wajib mengunjungi sang eyang. Sang eyang kakung itu rela rumahnya menjadi ”rumah cucu”.
Jejak para cucu bertebaran. Ada laptop tempat bermain game di meja makan, kertas-kertas gambar, dan papan tulis putih berisi wish list (daftar keinginan) Kania, cucunya.
”Lihat tuh jembatan di atas kolam ikan. Itu jembatan mau ke mana? Cuma menempel ke dinding. Itu cucu yang minta, ha-ha-ha,” ujar Wendo, menunjuk kolam ikan dengan jembatan buntu itu.
Di kolam belakang rumah itu, Wendo suka menghabiskan waktu memberi makan ikan-ikan peliharaannya selama delapan tahun yang sudah gede-gede. Kadang, dia memberi makan ikan bersama cucu.
Dunia yang melamban ketika menyaksikan mulut ikan menganga menyambar makanan dan kehadiran keluarga membuat Wendo selalu merasa rumah sebagai antitesa riuhnya dunia di luar sana.
”Kalau di penjara dulu, seperti sebuah gereja yang dalamnya begitu teduh karena kita tidak berhubungan dengan hiruk-pikuk dunia,” ujarnya.
Hidup di Jakarta, gaduhnya dunia itu, langsung dirasakan begitu kendaraan menggelinding di atas aspal. Kemacetan jalanan yang disumpahi Wendo sebagai anak kandung dari kiamat itu menjadi kontras dengan rumah.
”Banyak rentetan kesalahan terjadi karena kemacetan. Melawan arus, menurunkan penumpang sembarangan, menaiki trotoar, dan menerabas lampu merah menjadi biasa, tidak lagi merasa bersalah. Mudah-mudahan rumah jadi antitesa. Segala sesuatu bermula di rumah,” ujarnya.
Itulah Wendo, selalu santai menyikapi segala hal. Namun, hal-hal yang berkait dengan kenangan, ia bisa menyimpannya dalam-dalam di rumah atau di hatinya.