Senegal tidak pernah beruntung saat bertemu Aljazair di Piala Afrika. Mereka berusaha menulis sejarah baru di Mesir dan merasakan gelar juara untuk pertama kalinya.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·4 menit baca
KAIRO, KAMIS - Bintang tim nasional Senegal Sadio Mane bercita-cita mengarak trofi Piala Afrika 2019 di jalanan Kota Dakar, ibu kota Senegal, akhir pekan ini. Cita-cita yang bisa terwujud apabila tim ”Singa Teranga” itu mampu menundukkan Aljazair pada laga final di Stadion Internasional Kairo, Mesir, Sabtu (20/7/2019) pukul 02.00 WIB.
Mane bahkan rela menukar trofi Liga Champions yang ia raih bersama Liverpool musim lalu dengan trofi Piala Afrika. ”Pergi ke Dakar membawa trofi (Piala Afrika) akan menjadi pengalaman yang luar biasa. Ini merupakan mimpi terliar saya,” kata Mane seperti dikutip majalah France Football.
Begitu besar keinginan Mane dan para pemain Senegal lainnya untuk menjuarai turnamen ini sangat mudah dipahami. Sejak Piala Afrika pertama tahun 1957, Senegal belum pernah menjadi juara.
Final pada Sabtu adalah final kedua mereka, setelah tahun 2002. Saat itu, Senegal dikalahkan Kamerun melalui adu penalti.
Prestasi Senegal sejauh ini hanyalah penguasa Piala Amilcar Cabral, turnamen regional bagi tim-tim di Afrika Barat. Dalam turnamen yang tidak lagi digelar sejak tahun 2007 itu, Senegal menjadi juara terbanyak dengan koleksi delapan trofi. Namun, tim peserta turnamen itu bukanlah tim-tim kuat Afrika.
Oleh karena itu, final Piala Afrika 2019 menjadi kesempatan terbaik Senegal untuk naik kelas menjadi tim terkuat di Afrika. Di atas kertas, mereka telah mencapai hal itu dengan menjadi tim Afrika yang meraih peringkat tertinggi (peringkat 22) pada daftar peringkat dunia FIFA, Juni 2019. Tim Singa Teranga tinggal membuktikannya di hadapan Aljazair.
Senegal sudah punya modal yakni para pemain yang telah ditempa di liga-liga top Eropa. Tidak hanya Mane, di Liga Inggris ada Cheikou Kouyate (Crystal Palace) dan Idrissa Gueye (Everton). Pemain lainnya tersebar di Liga Perancis, Liga Jerman, dan Liga Italia.
Bagi pelatih Senegal Aliou Cisse, bintang Senegal tidak hanya Mane tetapi Gueye, yang merupakan jantung permainan di skuadnya. Sebagai gelandang, Gueye berperan penting dalam merebut bola dari lawan dan mengalirkannya ke para penyerang. Ia menjadi jembatan antara Mane dan bek Kalidou Koulibaly, yang juga menjadi pilar pertahanan Napoli.
Namun, Koulibaly harus absen di final karena terkena sanksi akumulasi kartu kuning. Ini merupakan pukulan sekaligus tantangan bagi Cisse untuk mempertahankan kekuatan lini belakangnya. Cisse harus ingat, lini serang Aljazair sangat tajam dan sudah mencetak 12 gol sejak awal turnamen.
Rivalitas klub
Ketajaman lini serang Aljazair terutama karena kehadiran Riyad Mahrez, pemain yang ikut mengantar Manchester City menjuarai Liga Inggris musim lalu. Ia sudah mencetak tiga gol, termasuk gol kemenangan melalui tendangan bebas ke gawang Nigeria yang mengantar timnya ke final.
Adapun Nigeria akhirnya merebut gelar tim peringkat tiga setelah mengalahkan Tunisia 1-0, Kamis (17/7/2019) dini hari WIB.
Kehadiran Mahrez juga menjadikan laga final ini semakin menarik karena ia akan bertemu Mane, sehingga rivalitas City dan Liverpool pada musim lalu akan berlanjut di Piala Afrika. Di Liga Inggris, Mahrez dan City mampu membuat Mane dan Liverpool patah hati. Jika Aljazair menang, Senegal dan Mane akan kembali terluka, sama seperti Liverpool yang masih terjebak dalam penantian panjang meriah gelar Liga Inggris.
”Ini akan kembali menjadi pertarungan lainnya melawan Senegal dan sejauh ini kami tampil bagus,” kata Mahrez. Optimisme Mahrez ini tidak lain karena Aljazair mampu mengalahkan Senegal 1-0 pada laga penyisihan Grup C.
Sejarah juga berpihak kepada Aljazair karena dalam empat pertemuan kedua tim di Piala Afrika, Senegal belum pernah menang. Bahkan, belum pernah ada tim yang menjadi juara setelah kalah pada babak penyisihan grup dan melawan tim yang sama pada laga final. Jika sejarah kembali terulang, Aljazair akan kembali menikmati gelar juara yang terakhir kali mereka raih pada tahun 1990.
Satu tahun setelah Aljazair merasakan kejayaan itu, Mahrez lahir. Ia kini telah tumbuh menjadi tumpuan tim Rubah Gurun untuk mengembalikan kejayaan tersebut. Pelatih Aljazair Djamel Belmadi menyadari, beban Mahrez sangat berat dan ia mencoba mengatasinya.
”Kami harus mengurangi fokus kepada Mahrez jika ingin menjuarai turnamen ini. Saya tidak suka menonjolkan satu pemain saja,” katanya. (AFP/REUTERS)