Perubahan lanskap angkatan kerja, antara lain dimulainya dominasi generasi milenial, mesti diantisipasi oleh perusahaan.
Oleh
M CLARA WRESTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan lanskap angkatan kerja, antara lain dimulainya dominasi generasi milenial, mesti diantisipasi oleh perusahaan. Salah satunya perusahaan harus memiliki banyak tujuan yang berdampak, baik bagi karyawan, masyarakat, maupun negara.
”Angkatan kerja milenial sangat mengedepankan pengalaman dan ingin melakukan sesuatu bagi lingkungan. Perusahaan kini harus berubah menjadi social enterprise. Ini bukan CSR (tanggung jawab sosial perusahaan). Perusahaan tetap harus untung, tetapi mempunyai dampak yang lebih besar bagi semua,” kata Human Capital Deloitte Partner Mark Nicholas Teoh di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Teoh menjelaskan, hasil studi Deloitte yang berjudul 2019 Global Human Capital Trends: Leading the Social Enterprise Reinvent with a Human Focus menemukan hanya 23 persen pemimpin di Asia Tenggara yang masuk dalam pemimpin industri yang sudah masuk kategori social enterprise. Jumlah di Asia Tenggara lebih banyak daripada angka global yang hanya 19 persen.
Studi yang melibatkan hampir 10.000 pemimpin bisnis dari 119 negara ini menunjukkan bahwa responden merasa saat ini social enterprise lebih penting daripada sebelumnya.
”Di era ini, perusahaan mendapatkan tantangan untuk meningkatkan pengalaman karyawannya. Peningkatan atau perbaikan pengalaman karyawan ini penting karena hanya 38 persen responden Asia Tenggara yang percaya karyawannya puas atau sangat puas dengan desain pekerjaan mereka,” kata Teoh.
Di dalam social enterprise ini, pekerjaan harus dilakukan secara tim, terdiri dari tenaga terampil dengan kecakapan yang berbeda-beda atau cross functional teams. Hasilnya, pekerjaan yang seharusnya diselesaikan dalam sembilan bulan sudah bisa siap hanya dalam waktu enam minggu. Cross functional teams membuat kemajuan kinerja yang sangat signifikan.
Hal penting lainnya adalah mutasi. Dengan melakukan mutasi, karyawan mempunyai pengalaman yang beragam sehingga memudahkan jika akan membentuk cross functional teams.
Mengenai angkatan kerja milenial, Teoh mengatakan, milenial tidak hanya mau sekadar bekerja, tetapi juga ingin memberikan dampak yang lebih positif kepada komunitas dan lingkungan. Mereka pun ingin pengakuan. ”Saat ini, banyak generasi milenial yang terlibat dalam gig economy. Mereka hanya bekerja sebagai karyawan paruh waktu. Mereka tetap bekerja, tetapi tetap melakukan yang menyenangkan di luar. Misalnya membuat film-film pendek untuk memaparkan ide menjadi lebih menarik,” ujarnya.
Milenial tidak hanya mau sekadar bekerja, tetapi juga ingin memberikan dampak yang lebih positif kepada komunitas dan lingkungan.
Sementara itu, Indonesia Consulting Leader Deloitte Consulting Indonesia Iwan Atmawidjaja mengatakan, perubahan perusahaan yang memberikan pengalaman kepada karyawan juga harus dilakukan oleh badan usaha milik negara.
”Saat ini memang masih banyak BUMN kita yang kaku karena terlalu birokratis. Namun, karena BUMN juga dituntut profit, maka seharusnya mereka juga berubah,” kata Iwan.
Dia mengakui sudah ada beberapa BUMN yang adaptif. Pemimpinnya sudah bersikap sebagai pengusaha, bukan birokrat.
”Contohnya seperti Telkom. Mereka melihat bagaimana perusahaan lain bekerja dan bagaimana tenaga kerja milenial. Mereka sudah berubah menjadi enterpreneur, tetapi tetap dalam koridor BUMN,” kata Iwan.