Respons atas Ebola Harus Radikal
WHO menetapkan status kedaruratan kesehatan internasional terhadap wabah ebola di Republik Demokratik Kongo. Diharapkan status darurat mendorong upaya radikal dalam merespons wabah itu.
GENEVA, KAMIS— Setelah hampir setahun wabah ebola melanda Republik Demokratik Kongo, Badan Kesehatan Dunia (WHO), Rabu (17/7/2019), menyatakan status kedaruratan kesehatan internasional terhadap wabah ebola yang terjadi di negara tersebut. Penetapan status ini diharapkan mendorong respons lebih radikal dalam menanggulangi penyakit itu.
WHO mendefinisikan darurat global sebagai ”kejadian luar biasa” yang menimbulkan risiko pada negara lain sehingga membutuhkan koordinasi internasional. ”Sudah saatnya dunia memperhatikan dan melipatgandakan usahanya. Kita perlu bekerja sama dalam solidaritas dengan Republik Demokratik Kongo untuk mengakhiri wabah ini dan membangun sistem kesehatan yang lebih baik,” kata Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pernyataan pers yang dikeluarkan WHO.
Deklarasi status tersebut dikeluarkan menyusul pertemuan Komite Regulasi Kesehatan Internasional untuk Ebola di Republik Demokratik Kongo. Menurut komite tersebut, perkembangan penyebaran penyakit ebola di lapangan mendorong komite mendeklarasikan status darurat. Kasus terakhir penyebaran ebola yang mendapat perhatian adalah meninggalnya seorang pendeta setelah bepergian ke Goma, kota berpenduduk dua juta jiwa yang menjadi pintu gerbang ke Rwanda dan negara lain.
Bulan lalu, wabah ebola telah menyebar melintasi batas negara hingga Uganda. Ketika itu, satu keluarga membawa virus tersebut setelah mereka mengunjungi pemakaman salah seorang kerabatnya di Republik Demokratik Kongo yang meninggal karena Ebola. Meski pakar menyarankan agar saat itu komite WHO menyatakan status darurat global, hasil keputusan komite justru sebaliknya.
Pakar kesehatan global dari Georgetown University Law Center, Alexandra Phelan, mengatakan, status darurat global yang baru saat ini dideklarasikan sudah lama diharapkan. ”Pada dasarnya status darurat ini memiliki konsekuensi bahwa komunitas internasional harus memberikan dukungan teknis dan pendanaan yang sepadan,” katanya.
”Usaha yang luar biasa telah dilakukan selama hampir setahun dalam kondisi yang sulit. Kita semua berutang pada semua pihak yang membantu yang tidak hanya berasal dari WHO, tetapi juga pemerintah, mitra, dan komunitas.”
Tak ada pembatasan
Komite juga kecewa atas penundaan pendanaan yang akhirnya menghambat penanggulangan penyakit. Mereka juga memperkuat perlindungan mata pencaharian masyarakat yang terdampak dengan tetap membuka jalur transportasi dan gerbang di perbatasan negara. Sangat penting untuk menghindari konsekuensi ekonomi dari pembatasan perdagangan dan perjalanan terhadap masyarakat yang terdampak penyakit.
”Penting bagi dunia untuk mengikuti rekomendasi ini. Juga sangat krusial bahwa negara tidak menggunakan status kedaruratan ini sebagai alasan untuk memberlakukan pembatasan perjalanan yang akan berdampak negatif pada masyarakat dan mata pencahariannya,” kata Profesor Robert Steffen, Ketua Komite Regulasi Kesehatan Internasional untuk Ebola.
Meski telah dinyatakan status darurat, Steffen menekankan bahwa tidak perlu ada negara yang bereaksi berlebihan dengan menutup perbatasan atau membatasi aktivitas perdagangan antarnegara. Risiko yang paling besar tetap berada di kawasan Afrika.
Ebola adalah penyakit yang langka, tetapi memberikan dampak yang sangat parah pada orang yang terinfeksi. Tingkat kematian akibat ebola bisa mencapai 90 persen. Penyakit ini disebabkan virus yang ditularkan dari hewan liar ke manusia. Asal virus belum diketahui secara pasti, tetapi bukti memperlihatkan kemungkinan kelelawar buah (Pteropodidae) merupakan asal virus ebola.
Ebola pertama kali teridentifikasi tahun 1976 ketika dua wabah terjadi di desa Yambuku dekat Sungai Ebola di Republik Demokratik Kongo dan satu daerah terpencil di Sudan.
Virus yang sangat mematikan ini kemudian menyebar di antara manusia melalui darah, cairan tubuh, kotoran, atau lapisan kulit yang terkelupas dari orang yang terinfeksi.
Korban
Hingga Selasa (16/7), WHO mencatat ada 2.428 kasus positif ebola di Republik Demokratik Kongo dengan jumlah korban positif ebola 1.604 jiwa.
Dalam beberapa bulan terakhir, komite WHO berada dalam tekanan para pakar
yang merasa skala wabah dan risiko yang ditimbulkannya memerlukan penetapan status darurat. ”Wabah ini tidak menunjukkan tanda terkendali,” ujar Direktur London School of Hygiene & Tropical Medicine Peter Piot.
Ia berharap, penetapan status darurat menjadi pengingat sekaligus pendorong bagi komitmen politik yang lebih kuat, koordinasi yang lebih baik, dan pendanaan yang lebih besar untuk mendukung Republik Demokratik Kongo dalam usahanya menghentikan epidemi mematikan ini.
Presiden Dokter Lintas Batas Joanne Liu berharap status darurat akan dapat mendorong upaya radikal dalam merespons wabah ebola yang terjadi. ”Realitasnya, setelah setahun terjadi, (wabah ebola) ini belum terkontrol dan kita tidak berada di jalur yang seharusnya. Kita tidak bisa melakukan hal yang sama dengan mengharapkan hasil yang berbeda,” tuturnya.
Liu mengatakan, strategi vaksinasi harus diperluas dan upaya membangun kepercayaan masyarakat harus lebih terus ditingkatkan.
Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (USAID) mengapresiasi langkah keputusan WHO dan para pejabat USAID akan ”melanjutkan dukungan untuk menyelamatkan nyawa” guna mengakhiri wabah ebola.
Sebelum wabah ebola sekarang, status darurat juga pernah dikeluarkan WHO untuk epidemi sindrom pernapasan akut parah (SARS) tahun 2004 di Asia, pandemi flu tahun 2009, epidemi ebola di Afrika Barat tahun 2013-2016 yang menewaskan 11.300 orang, polio tahun 2014, dan zika di Amerika Latin. (REUTERS/AP/AFP/ADH)