”Sea Power” Indonesia 2019-2024
Komisi Pemilihan Umum sudah menetapkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Presiden Jokowi kembali mendapat mandat menakhodai Indonesia hingga 2024. Poros Maritim Dunia yang dicanangkan Jokowi pada 2014 dengan sendirinya memiliki keberlanjutan dalam mewujudkan Sea Power di Indo-Pasifik sebagai masa depan bangsa Indonesia.
Penguasaan laut sangat krusial saat ini. Dalam 11 tahun ke depan kita akan menjadi kekuatan ekonomi keempat dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Untuk itu, Sea Power Indonesia dalam bentuk penguasaan laut dan pembangunan kekuatan laut menjadi keharusan agar peluang di 2030 itu terwujud.
Sea Power bukan hanya armada perang, melainkan juga mencakup semua potensi kekuatan maritim: armada niaga, perikanan, industri maritim, jasa maritim, pelabuhan, masyarakat maritim, pariwisata maritim, budaya maritim, dan penegakan hukum di laut. Sea Power merupakan kemampuan menggunakan dan mengendalikan laut untuk kemakmuran bangsa.
Selain membangun Sea Power, Indonesia juga perlu membangun Maritime Domain Awareness (MDA) agar kesadaran maritim berdampak luas pada setiap aspek kehidupan. Sea Power dan MDA adalah modal penting menyongsong Indonesia Gemilang 2045.
Kesadaran pentingnya Sea Power Indonesia ditegaskan Presiden Jokowi dalam Poros Maritim Dunia dan diimplementasikan pada pembangunan infrastruktur kemaritiman 2014- 2019 serta akan berlanjut di periode kedua kepemimpinannya.
Dalam 11 tahun ke depan kita akan menjadi kekuatan ekonomi keempat dunia setelah China, India, dan AS. Untuk itu, Sea Power Indonesia dalam bentuk penguasaan laut dan pembangunan kekuatan laut menjadi keharusan agar peluang di 2030 itu terwujud.
Namun, Sea Power Indonesia 2019-2014 harus ditempatkan dalam konteks perubahan geopolitik dan geostrategi dunia abad ke-21. Saat ini terjadi pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dunia. China, India, Indonesia, Korea Selatan menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru dunia. Perubahan ini membawa Asia keluar dari kemiskinan, memperluas aspirasi, mendorong inovasi, dan melahirkan geopolitik baru.
China sebagai pesaing AS
Kebangkitan Asia ditandai tampilnya China sebagai adidaya baru, mengimbangi dominasi AS di bidang ekonomi, politik, dan militer. China telah memulai kampanye investasi paling ambisius dalam sejarah.
Presiden Xi Jinping pada 2013 menginisiasi One Belt One Road (OBOR) sebagai penegasan atas Jalur Sutera yang sudah ada sejak zaman Dinasti Han (110) dan Dinasti Ming (1403-1433). Pada 2017, OBOR berubah menjadi Belt and Road Initiative (BRI). Strategi ini berfokus pada konektivitas dan kerja sama Eurasia dengan China yang berbasis daratan dan maritim.
Inisiatif BRI menegaskan tekad China untuk berperan lebih besar dalam urusan global. BRI berpotensi menciptakan pendapatan, ikatan, dan ketergantungan jangka panjang. China berusaha ”membeli” persahabatan dan pengaruh politik dengan membangun infrastruktur di negara-negara sepanjang OBOR.
Kebangkitan ekonomi China juga mendorong pengembangan dan modernisasi angkatan bersenjata China. Meski belum teruji, militer China telah banyak berubah: mengembangkan dan membeli berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) demi menjadi adidaya abad ke-21.
China masih kekurangan kapal induk dan peralatan perang untuk memproyeksikan kekuatannya ke penjuru dunia. Meski begitu, kemampuan militer China telah mengubah perhitungan militer AS, terutama di Laut China Selatan (LCS) yang kini dalam sengketa antara China dan sejumlah negara Asia Tenggara. Di wilayah itu, China telah membangun kekuatan militernya.
Kebangkitan ekonomi China, India, bersama negara-negara Asia lain menimbulkan realitas baru di Asia Pasifik dan membuat keseimbangan ekonomi politik dunia bergeser. Posisi hegemoni AS dalam geopolitik dan geostrategi global mulai digerogoti China.
Saat ini terjadi pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dunia. China, India, Indonesia, Korea Selatan menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru dunia.
Perubahan lingkungan strategis itu memaksa AS mengubah komando pertahanan tertua dan terbesar: Komando Pasifik AS (US Pacific Command/USPACOM) yang mengawasi pantai barat AS sampai bagian barat India dan Antartika sampai Kutub Utara.
USPACOM, mewakili 20 persen kekuatan militer AS, dengan 375.000 personel militer serta mencakup 36 negara. Sejak Mei 2018 komando tempur itu diubah menjadi Komando Indo-Pasifik AS (US Indo-Pacific Command /USINDOPACOM). Perubahan itu menegaskan pentingnya India dan kawasan geopolitik di sekitarnya.
AS memandang hubungan dengan sekutu di Samudera Pasifik dan India penting untuk menjaga stabilitas regional. Bagi AS, modernisasi militer Rusia menimbulkan kekhawatiran, tetapi ancaman yang membayangi pada 2025-2030 adalah China. Dalam upaya menangkal China, AS berusaha merangkul India.
Persaingan AS-China pecah dalam wujud perang dagang. Di luar itu ada ketegangan di kawasan LCS bersama Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Taiwan. China mengklaim LCS wilayahnya yang dinyatakan dalam sembilan garis putus-putus tanpa koordinat. Klaim itu beririsan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan landas kontinen Indonesia.
AS tak punya sengketa dengan China di LCS, tetapi AS menolak klaim China di sana yang dianggapnya tak sesuai dengan hukum internasional. Dengan alasan kebebasan bernavigasi, AS menghadirkan kapal perang dan pesawat udara di LCS yang memicu kemarahan China.
Berubahnya USPACOM berdampak pada semakin tajamnya persaingan hegemoni antara AS dan China. AS tampaknya menggunakan pendekatan fighting force, sedangkan China memakai smart force yang diimplementasikan dalam Belt on Road Initiative (BRI).
Prakarsa bagi Indo-Pasifik
Kita perlu mencermati perubahan itu secara bijak karena berimplikasi pada konflik LCS yang berimbas ke Indonesia serta perubahan tatanan geomaritim di kawasan. Ketidakpastian dan besarnya tantangan yang dihadapi kawasan Indo-Pasifik berpotensi menimbulkan ancaman bagi perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan dalam kaitannya dengan tarik-menarik konstelasi kekuatan AS-China.
Untuk itu, Indonesia memprakarsai lahirnya pandangan bersama ASEAN tentang Indo-Pasifik (ASEAN Outlook on Indo-Pacific) pada KTT ASEAN yang ke-33 di Singapura, November 2018. Usulan RI itu diadopsi pada KTT ASEAN yang ke-34 di Bangkok, 20-23 Juni 2019.
Pandangan ASEAN itu juga diapresiasi oleh perwakilan 18 negara (10 negara ASEAN) ditambah delapan mitra wicara: AS, China, Jepang, India, Rusia, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan pada Dialog Tingkat Tinggi Kerja Sama Indo-Pasifik di Jakarta, 20 Maret 2019.
Intinya, ASEAN yang berada di tengah kawasan Indo-Pasifik harus mampu menjadi poros, memainkan peran, mengubah potensi ancaman, persaingan, dan ketegangan menjadi peningkatan kerja sama, serta menjadikan aspek maritim sebagai elemen tata kawasan. Caranya dengan mengedepankan prinsip keterbukaan, inklusivitas, transparan, dan penghormatan terhadap hukum internasional.
Kita perlu mencermati perubahan itu secara bijak karena berimplikasi pada konflik LCS yang berimbas ke Indonesia serta perubahan tatanan geomaritim di kawasan.
Presiden Joko Widodo di KTT ASEAN menyatakan, outlook ini mencerminkan sentralitas dan kekuatan ASEAN dalam menghormati prinsip-prinsip menjaga perdamaian, memperkuat budaya dialog, serta memperkokoh kerja sama. Outlook ASEAN mengenai Indo-Pasifik menjadi penting saat ini di tengah terjadinya perang dagang AS-China.
Untuk mendukung penerapan skala penuh konsep Indo-Pasifik, sewajarnya kepemimpinan Presiden Jokowi pada periode 2019-2024 meningkatkan kapabilitas dan cakupan operasional Sea Power Indonesia.
Landasan kebijakan dan strategi Sea Power yang sudah ada sejak 2014 harus terus diimplementasikan. Dengan demikian, Indonesia sebagai kekuatan ekonomi nomor empat dunia di 2030 bukanlah angan-angan dan Indonesia Gemilang 2045 sebagai bangsa maritim terbesar di dunia adalah realita.
(Marsetio, Guru Besar Universitas Pertahanan; Kepala Staf Angkatan Laut 2012-2015)