DUBAI, KOMPAS – Pemanfaatan teknologi informasi dan kecerdasan buatan tidak bisa dielakkan dalam rangka pengembangan sebuah kota pintar. Namun, itu semua hanya menjadi sarana yang bermuara agar penduduk menjadi lebih bahagia.
Dalam wawancara dengan Kompas, Kamis (18/7/2019), Marketing Specialist Smart Dubai, Nakul Berry, mengatakan, pemanfaatan teknologi informasi dan digital banyak diterapkan di kota-kota besar dunia sehingga disebut sebagai kota pintar. Meski Dubai mengusung konsep kota pintar yang ditargetkan terwujud pada 2021, teknologi tetap sebatas sarana.
“Target kami bukanlah membuat kota pintar, tetapi membuat orang bahagia. Teknologi menjadi sarana untuk membuat hidup lebih mudah,” kata Berry dalam wawancara dengan Kompas, Kamis (18/7/2019), di Dubai, Uni Emirat Arab.
langkah yang dilakukan untuk mewujudkan kota pintar Dubai atau Smart Dubai pertama-tama dengan penerapan e-government yang dikembangkan sejak tahun 2000. Dengan pelayanan yang serba digital, masyarakat tidak perlu lagi harus bertemu dengan petugas dari pemerintah untuk mengurus, semisal perizinan atau pembelian properti.
Dengan proses digitalisasi tersebut, banyak efisiensi yang dapat dilakukan. Hal yang pertama adalah efisiensi waktu sebanyak 40 jam per orang per tahun. Selain itu, terdapat penghematan 1 miliar kertas atau setara 130.000 pohon. Kemudahan dalam pelayanan masyarakat diharapkan dapat menyenangkan atau membahagiakan warga.
Meski demikian, digitalisasi merupakan proses panjang. Salah satu yang dikembangkan adalah pemanfaatan kecerdasan buatan dan blockchain. Dengan blockchain catatan tentang sesuatu atau seseorang, misal soal kesehatan, tidak dapat dihapus dan hanya bisa diperbarui. Hal itu akan membantu memberikn pelayanan yang lebih spesifik kepada warga.
Bersamaan dengan itu, otoritas juga membuat aturan untuk mendukung pelaksanaan di lapangan. Misalnya mengenai perjanjian jual beli properti cukup dilakukan secara elektronik dan bukti elektronik dianggap sah secara legal.
“Tantangannya adalah penyesuaian budaya atau kebiasaan. Misalnya masih ada orang yang menganggap bukti elektronik itu tidak sah dan meminta bukti fisik berupa kertas. Hal itu perlu waktu,” ujar Berry.
Tantangan lainnya adalah mengintegrasikan data dari semua instansi pemerintah. Berry mengaku hal itu relatif mudah dilakukan karena program Smart Dubai dicanangkan oleh penguasa Dubai secara langsung sehingga diikuti oleh semua jajaran di bawahnya.
Sementara itu, Chief Operations Officer Astrolabs Roland Daher, sebuah inkubator dan perusahaan teknologi informasi, mengatakan, kota Dubai menyediakan infrastrukur yang baik serta kemudahan bagi pengembangan usaha rintisan. Salah satu usaha rintisan yang turut dibina Astrolabs dan sekarang berkembang besar di wilayah Timur Tengah adalah Careem, aplikasi layanan transportasi yang belum lama ini diakuisisi Uber.
Menurut Daher, sebagai tempat bertemunya berbagai orang dari berbagai negara di dunia. Dubai merupakan lokasi yang tepat bagi usaha rintisan untuk menguji konsep dan solusi dari usaha rintisannya. Di sisi lain, akses terhadap pendanaan seperti perbankan dan dari investor juga tersedia.
Namun demikian, saat ini di berbagai lokasi ada banyak usaha rintisan menghadapi kesulitan mencari bakat (talent) yang tepat. Sebab, usaha rintisan tidak hanya memerlukan ide, tetapi memerlukan orang yang bisa mengeksekusi di lapangan. Di Dubai, hal itu relatif bisa teratasi karena orang dari berbagai negara datang dan bertemu. (Norbertus Arya Dwiangga dari Dubai, Uni Emirat Arab)