Polri Minta Waktu 6 Bulan, Presiden Hanya Beri Separuhnya
Setelah hasil kerja tim pencari fakta selama enam bulan mengungkap dugaan motif penyiraman air keras kepada penyidik KPK, Novel Baswedan, Polri kembali meminta waktu untuk menindaklanjutinya.
Oleh
Nina susilo
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah hasil kerja tim pencari fakta selama enam bulan mengungkap dugaan motif penyiraman air keras kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, Kepolisian Negara RI kembali meminta waktu untuk menindaklanjutinya. Namun, Presiden Joko Widodo hanya memberi waktu tiga bulan untuk menyelesaikan penyelidikan dari enam bulan waktu yang diminta.
”Pertama, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada TPF yang sudah menyampaikan hasilnya dan hasil itu mesti ditindaklanjuti oleh tim teknis untuk menyasar dugaan-dugaan yang ada. Kalau Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri) meminta waktu enam bulan, saya sampaikan tiga bulan tim teknis harus bisa menyelesaikan,” kata Presiden Joko Widodo ketika wartawan menanyakan masalah ini di Istana Negara, Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Presiden berharap setelah perpanjangan waktu, temuan yang diperoleh sudah memperjelas kasus ini. Namun, diakui, penyerangan kepada Novel bukan kasus mudah. ”Kalau kasus mudah, sehari-dua hari (sudah) ketemu,” ujarnya.
Setelah tiga bulan, Presiden akan memantau hasilnya. ”Jangan sedikit-sedikit larinya ke saya, tugas Kapolri apa nanti?” lanjutnya.
Setelah perpanjangan waktu, temuan yang diperoleh diharapkan sudah memperjelas kasus ini. Setelah tiga bulan, akan dipantau lagi hasilnya. Jangan sedikit-sedikit larinya ke saya, tugas Kapolri apa nanti?
Setelah enam bulan bekerja, TPF hanya menghasilkan dugaan bahwa penyerangan terhadap Novel berkaitan dengan kasus yang ditangani Novel. Kasus itu antara lain korupsi Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu; korupsi pengadaan KTP elektronik; korupsi mantan Ketua MK Akil Mochtar; korupsi pembangunan wisma atlet; dan korupsi bekas Sekretaris Jenderal MA Nurhadi.
Penyerangan terhadap Novel juga diduga berkaitan dengan keterlibatannya dalam kasus pencurian sarang burung walet di Bengkulu pada 2004. TPF kemudian merekomendasikan Polri membentuk tim teknis lapangan untuk menindaklanjuti temuan tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, hasil kerja TPF sangat mengecewakan. Puri Kencana Putri dari Amnesty International Indonesia pun menilai hasil kerja tersebut mundur dibandingkan hasil penyelidikan Polri sebelumnya. Kesimpulan, TPF juga menyudutkan dan mendegradasi posisi Novel sebagai korban.
Wana Alamsyah dari Indonesia Corruption Watch serta Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, pun meminta Presiden Joko Widodo segera mengambil alih kasus ini dan membentuk tim gabungan pencari fakta yang independen. Hal senada disuarakan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas.