Dalam sejarah politik Indonesia, oposisi bukan posisi yang baru dan kehadirannya dibutuhkan untuk mengontrol pemerintahan. Kekuatan oposisi di pemerintahan 2019-2024 kini masih belum jelas.
Pertemuan dua calon presiden peserta Pemilu 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, pada 13 Juli lalu diyakini jadi simbol berakhirnya ketegangan politik terkait pemilu presiden. Namun, di sisi lain, pertemuan itu juga memunculkan pertanyaan tentang kekuatan oposisi lima tahun ke depan.
Pertanyaan ini muncul karena ada dugaan, pertemuan Jokowi-Prabowo itu akan diikuti masuknya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dipimpin Prabowo dalam koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Gerindra merupakan satu dari empat parpol bekas anggota koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga Uno pada pemilu presiden lalu yang mendapat kursi DPR. Dari empat parpol itu, baru Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara terbuka menunjukkan sinyal akan ada di luar pemerintahan lima tahun ke depan. Dua partai lainnya, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN), belum menunjukkan ke mana arah politiknya akan dilabuhkan.
Meski demikian, Partai Demokrat dan PAN telah memberikan sinyal untuk cenderung bergabung dengan koalisi pemerintah. Sinyal itu antara lain terlihat dari pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Komandan Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Di luar pemerintah
Bagaimana dengan Gerindra? Pilihan parpol ini mungkin lebih rumit. Pertemuan Jokowi dan Prabowo memang membuka peluang Gerindra masuk ke koalisi pemerintah. Namun, sejumlah pendukung Prabowo bereaksi negatif atas pertemuan itu.
Sejak didirikan sampai saat ini, Gerindra belum pernah merasakan pengalaman berada di pemerintahan. Ketika pertama kali mengikuti Pemilu Presiden 2009, Gerindra berkoalisi dengan PDI-P mengusung pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo. Pasangan ini kalah dari presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono. Setelah pemilu, Gerindra tak masuk dalam pemerintahan sampai era Jokowi 2014-2019.
Koalisi partai pendukung Jokowi-Amin kini diperkirakan mengantongi lebih dari 60 persen kursi parlemen. Jika Gerindra yang berdasarkan hasil simulasi Litbang Kompas akan memiliki 78 kursi DPR, atau setara dengan 13,6 persen dari total kursi DPR periode 2019-2024, tentu akan makin memperkuat dukungan pemerintah di parlemen.
Namun, jika kemudian kekuatan politik pemerintahan terlalu mendominasi, bagaimana dengan kualitas demokrasi Indonesia yang notabene membutuhkan check and balance? Dominasi parpol pendukung pemerintah di parlemen berpotensi melumpuhkan sistem kontrol terhadap kekuasaan.
Kesadaran ini membuat publik memberikan sinyal positif tentang kehadiran kekuatan oposisi. Hasil jajak pendapat Kompas awal Juli lalu, sebanyak 74,9 persen responden menyatakan kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan tetap harus ada untuk mengontrol kekuasaan.
Jejak oposisi
Sejarah politik di Indonesia mencatatkan, oposisi tetap mendapat tempat meskipun dalam perjalanannya mengalami pasang surut. Di era pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1967), peran oposisi terlihat dari hadirnya Partai Masyumi yang dipimpin M. Natsir. Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), peran oposisi dimandulkan dengan pembubaran parpol yang bersikap oposisi terhadap pemerintah. Pemandulan peran oposisi ini terus berlanjut di era Orde Baru.
Peran oposisi mulai kembali terbuka di era reformasi, terutama di era pemilihan presiden secara langsung. Pada periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), PDI-P bersama sejumlah parpol lain yang ada di luar pemerintah memiliki 26,7 persen kursi DPR. Meski jumlah kursinya di bawah partai pendukung pemerintah, kritikan mereka sudah muncul di sejumlah isu, seperti kenaikan harga BBM dan bantuan langsung tunai. Peran oposisi berlanjut ketika Yudhoyono kembali terpilih menjadi presiden pada Pemilu 2009 dengan porsi penguasaan kursi parlemen tak jauh beda dengan sebelumnya.
Pasca-Pemilu 2014, PDI-P menjadi partai pemenang, sedangkan Gerindra, PKS, dan Demokrat ada di luar pemerintahan. Ketiga parpol itu menguasai 31,1 persen, meningkat dibandingkan kekuatan oposisi di periode sebelumnya.
Sepanjang lima tahun terakhir, kelompok penyeimbang ini beberapa kali mengkritik kebijakan pemerintahan Jokowi, seperti soal kebijakan pangan, tarif listrik, dan utang negara.
Kini, jika Gerindra, PKS, Demokrat, dan PAN ada di luar pemerintahan, kekuatan mereka di parlemen hampir 40 persen, meningkat dibanding kekuatan oposisi pada periode sebelumnya. Namun, kondisi dapat berbeda jika di antara mereka bergabung dengan pemerintah. Dilema empat parpol itu, mau ada di luar pemerintahan atau masuk ke pemerintahan dengan segala ”kenikmatan” kekuasaan yang dapat diraih. Kita tunggu saja bagaimana empat parpol itu mengatasi dilema itu. Apa pun pilihan yang kelak diambil parpol-parpol itu, semoga ikut memberikan kontribusi positif perjalanan demokrasi di Indonesia.
(Yohan Wahyu/Litbang Kompas)