Masa kecil Utom Sutomo (54) di Pangandaran, Jawa Barat, diwarnai dengan meriah pertunjukan ronggeng dari kampung ke kampung. Dia ingin menjaga warna itu tetap menyala dengan mengenalkan seni tradisi khas Jawa Barat tersebut ke generasi muda.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·5 menit baca
Masa kecil Utom Sutomo (54) di Pangandaran, Jawa Barat, diwarnai dengan meriahnya pertunjukan ronggeng dari kampung ke kampung. Dia ingin menjaga warna itu tetap menyala dengan mengenalkan seni tradisi khas Jawa Barat itu kepada generasi muda.
Udara dingin menyelimuti Lapangan Katapang Doyong di pantai timur Pangandaran, Sabtu (13/7/2019) malam. Tidak kurang dari 300 orang berkumpul mengelilingi lapangan itu. Selain warga setempat, sejumlah wisatawan juga datang untuk menyaksikan ronggeng amen.
Ronggeng amen (diduga dari kata ngamen) adalah hasil pengayaan seni tradisional ronggeng gunung, tarian kuno khas sarat ritual yang berkembang di daerah pegunungan Ciamis dan Pangandaran. Berbeda dengan ronggeng gunung yang hanya menggunakan tiga jenis alat musik, yakni kendang indung, kenong, dan goong indung, ronggeng amen menggunakan alat musik yang lebih banyak dan ragam lagu sehingga lebih meriah.
Di atas panggung, Utom sibuk memeriksa sejumlah alat musik, seperti gendang, rebab, gambang, saron, bonang, dan gong, berfungsi dengan baik. Dia adalah pemimpin Wirahma Sari Putra 2, grup seniman yang akan menampilkan ronggeng amen tersebut. Grup yang didirikan pada 1972 itu diundang untuk memeriahkan Pangandaran International Kite Festival 2019.
Pertunjukan dimulai dengan alunan musik bertempo lambat. Lengkingan suara sinden yang mendendangkan lagu berbahasa Sunda pun terdengar nyaring. Enam perempuan penari (ronggeng) menari di atas panggung. Mereka mengenakan kebaya berwarna merah dan selendang hitam yang dikalungkan di leher. Gerakan kakinya seirama dengan tempo musik. Sambil tetap menari, mereka membentuk formasi lingkaran.
Sekitar 15 menit berselang, penari turun ke lapangan. Mereka kembali membentuk formasi lingkaran kecil di tengah lapangan. Penonton merapat ke tengah lapangan dengan tertib. Mereka juga membentuk formasi lingkaran lebih besar mengelilingi penari. Formasi itu terus bertambah hingga lebih dari 15 lapis lingkaran.
Secara bertahap, tempo musik dipercepat. Gerak tangan, kaki, dan badan pun mengikuti. Gerakan ini cukup menghangatkan tubuh dalam cuaca dingin dengan suhu 18 derajat celsius. Dari atas panggung, Utom tersenyum melihatnya. Penonton malam itu menjadi salah satu yang paling ramai dalam penampilan grupnya.
”Apalagi, sebagian besar penontonnya anak muda. Itu artinya, ronggeng amen masih diminati. Ini menambah semangat untuk terus melestarikan budaya Sunda,” ujarnya.
Jatuh bangun
Grup Wirahma Sari Putra 2 yang dipimpin Utom berasal dari Desa Cikembulan, Pangandaran. Namun, mereka juga sering tampil dalam berbagai hajatan di Kota Banjar dan Kabupaten Ciamis.
Tampil rata-rata seminggu sekali, tarif pentas grup ini sekitar Rp 5,5 juta. Uang itu digunakan untuk membayar sinden, penari, pemusik, dan biaya angkut alat musik. Dalam sekali pentas, jumlah personel yang terlibat bisa mencapai 20 orang.
Tak jarang Utom dan rekan-rekannya melewati jalan setapak untuk memenuhi undangan tampil di pelosok kampung. Jika hujan, mereka harus berjalan kaki menerobos jalan berlumpur. Pengeluaran pun membengkak karena harus membayar ojek untuk mengangkut alat musik.
Atas dasar efisiensi, Utom sebenarnya punya pilihan menolak tampil di lokasi yang jauh. Namun, dia tidak mengambil pilihan itu.
”Jika ditolak, saya khawatir masyarakat kapok mengundang ronggeng amen. Jadi, biarlah pengeluaran bertambah asal budaya ini tidak dilupakan,” ujarnya.
Mempertahankan grup seni tradisi tidak mudah. Banyak tantangan dan godaannya. Jika hanya mempertimbangkan materi, bisnis hiburan orkes dangdut dan organ tunggal lebih menggiurkan.
Salah satu tantangannya adalah menumbuhkan minat generasi muda. Hal ini memerlukan upaya ekstra di tengah budaya populer yang semakin merebak. Dalam penampilan grupnya, Utom selalu menampilkan penari berusia belia. Tujuannya mengenalkan ronggeng amen kepada anak-anak sejak dini.
”Jika di antara penari ada anak kecil, orangtua juga tidak sungkan mengajak anaknya untuk menonton. Jadi, ini cara mengenalkan ronggeng amen kepada anak-anak,” ujarnya.
Anggota Wirahma Sari Putra 2, Anang Suryana (55), mengatakan, grup ronggeng menjadi salah satu kunci untuk melestarikan kesenian itu. Tanpa grup itu, pemusik dan penari ronggeng akan kehilangan ruang berekspresi. ”Grup ronggeng harus dipertahankan. Dengan begitu, ada wadah untuk terus melestarikannya,” ujarnya.
Warisan budaya
Utom tak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang seni. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Guru Olahraga (SGO) Tasikmalaya. Dia sempat menambatkan cita-cita menjadi guru. Akan tetapi, arah kehidupannya berubah seusai tamat dari SGO pada 1985. Kenangan masa kecilnya menonton ronggeng dari kampung ke kampung bangkit. Ketika itu, ronggeng gunung yang merupakan cikal bakal ronggeng amen sudah jarang ditampilkan.
Munculnya ronggeng amen di awal 1990-an menarik perhatian Utom. Dia belajar memainkan alat musik pengiring, seperti gendang, saron, dan gong. Di dunia ronggeng pula dia bertemu dengan istri pertamanya, Kuswi (almarhumah), yang meninggal pada 2008.
Grup Wirahma Sari Putra 2 yang dipimpin Utom juga merupakan warisan dari keluarga Kuswi. Utom biasa memainkan saron, Kuswi sebagai sindennya. Selain menyinden, Kuswi juga melatih anak-anak dan remaja menari. Sementara itu, Utom melatih pemuda bermain musik ronggeng.
Bagi Utom, mempertahankan grup Wirahma Sari Putra 2 bukan sekadar melanjutkan warisan almarhumah istrinya. Namun, juga menjaga seni ronggeng agar tidak punah.
Menurut Utom, ronggeng bukan tarian biasa. Gerakannya penuh makna. Gerak tangan, kaki, dan tubuh yang seirama melambangkan keteraturan hidup berdasarkan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Penonton yang ikut menari pun harus ikut menyesuaikannya. Keharmonisan ayunan langkah dan gerak tangan harus terjaga. Jika tidak, maka akan berbenturan dengan orang di depan atau di belakangnya.
Dialog sinden dengan juru alok juga berisi pesan-pesan kebajikan. Dialognya tidak kaku, bisa berubah-ubah, sesuai pesan yang ingin disampaikan.
Tidak terasa malam di tepi Pantai Pangandaran pun semakin larut. Namun, lingkaran ronggeng belum juga terhenti tanpa putus, bahkan semakin besar. Semangatnya seperti mengajarkan kepada bangsa ini pentingnya kebersamaan.
Seperti alunan juru sinden malam itu yang berbunyi, ”Adem ayem di Meralaya/Ayo kawan mari bersama/Pancasila kita jaga sama-sama/.”
Utom Sutomo
Lahir: Pangandaran, 24 April 1965
Pendidikan terakhir: Sekolah Guru Olahraga Tasikmalaya
Pekerjaan: Pemimpin grup ronggeng amen Wirahma Sari Putra 2