Menanti Penyelamatan Suaka Margasatwa Rimbang Baling
Jumat (12/7/2019), kesibukan tampak di dermaga Desa Tanjung Belit dan Desa Gema. Dua desa bertetangga itu terletak di tepi Sungai Subayang, yang membelah hutan indah Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, 130 kilometer dari Pekanbaru. Kesibukan itu adalah rutinitas pembalak liar mengangkut kayu dari sungai ke truk-truk yang menunggu.
Gema adalah ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Di sana terdapat dermaga rakyat yang menjadi pelabuhan kecil transportasi air 14 desa di sepanjang aliran Sungai Subayang dan Sungai Bio. Sungai Bio juga ada di kawasan SM Rimbang Baling. Ujung Bio menyatu dengan Subayang di Desa Muara Bio, 11 kilometer di hulu Gema.
Pagi itu, di Tanjung Belit, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau tengah menyiapkan acara Millennial Jungle Track yang dilangsungkan pada Sabtu dan Minggu (13-14/7/2019). Acara melibatkan ratusan kaum milenial se-Riau.
Sesuai judulnya, Millennial Jungle Track merupakan acara susur hutan. Jalur jelajah dimulai dari Desa Muara Bio, menyusuri hutan di tepian Sungai Subayang, melintasi perbukitan, mendaki dan menurun, menyeberangi beberapa anak Sungai Subayang, hingga finis di Desa Tanjung Belit. Total perjalanan sekitar 9 kilometer.
Kepala BBKSDA Riau Suharyono mengatakan, acara itu memang menyasar kaum milenial. Tujuannya, menumbuhkan kecintaan anak muda terhadap alam Rimbang Baling nan permai. Kaum milenial yang akrab dengan gawai dan media sosial diharapkan menyebarkan kecintaan terhadap alam kepada sesamanya.
Rimbang Baling sendiri merupakan pusat konservasi harimau sumatera di Riau. Kawasan intinya seluas 140.000 hektar di dua kabupaten, yaitu Kampar dan Kuantan Singingi. Batas bagian baratnya bersatu dengan ekosistem hutan Bukit Barisan wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Suaka Margasatwa Rimbang Baling adalah hutan fenomenal di Riau. Hutan ini sangat asri dengan rerimbunan pepohonan berlatar belakang jejeran Bukit Barisan. Pemandangan terindah bisa ditemukan dengan menyusuri Sungai Subayang jernih, dangkal, dan berbatu.
Di sepanjang Subayang terdapat 10 desa yang terbentuk jauh sebelum Rimbang Baling ditetapkan sebagai suaka alam pada 1982. Warga di sana berasal dari Sumatera Barat. Tidak heran apabila adat budaya warganya sama seperti adat nenek moyangnya di Sumbar.
Meski didiami ribuan penduduk sejak ratusan tahun, Rimbang Baling belum terlalu rusak dibandingkan dengan hutan lain di tengah Pulau Sumatera. Namun, kata ”belum terlalu rusak” juga mengartikan ada bagian hutan yang terbuka.
Tidak susah melihat kerusakan itu. Seperti disampaikan di awal, Desa Gema pada Jumat pagi itu sibuk luar biasa. Delapan truk silih berganti memuat kayu log di dermaga Gema. Misi truk mengosongkan dermaga dari potongan kayu curian Hutan Rimbang Baling.
Pelaku pembalakan liar adalah masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran Subayang, jumlahnya ratusan. Aneka kayu bernilai tinggi ditebang ilegal, seperti kayu meranti dan balam. Kayu-kayu itu bagus untuk mebel atau perabot lain.
Lama marak
Proses penghancuran hutan alam luar biasa itu marak sewindu terakhir. Frekuensinya meningkat dua tahun belakangan. Penebangan kayu di hutan dilakukan sepanjang tahun.
Saat musim hujan, air Sungai Subayang cukup untuk menghanyutkan gelondongan kayu sampai ke pelabuhan Gema untuk diangkut truk. Pada puncak kemarau, Agustus dan September, air sungai surut.
Saat ini, penebangan liar kian merajalela. Pelakunya seperti tak kenal takut. Bagaimana tidak? Ketika ada kegiatan konservasi oleh BBKSDA Riau, di antaranya melibatkan polisi dan polisi hutan, para pembalak liar tetap asik dengan aktivitasnya.
Suhardi, panitia lokal Millenial Jungle Track, mengatakan, pembalak liar hanya ”libur kerja” (mengalirkan dan mengangkut kayu curian) pada hari-H kegiatan, yaitu Sabtu dan Minggu (13-14/7/2019). Jadi, Jumat itu, mereka tetap melakukan misi pembersihan kayu log di dermaga Gema, yang dipastikan dihadiri banyak orang, termasuk media.
Jumat sore, nyaris semua kayu di Gema bersih. Tersisa puluhan log yang tidak sempat dimuat. Saat jelajah hutan milienal berlangsung, tak sepotong kayu pun dihanyutkan di Subayang. Namun, sehari kemudian, Senin (15/7), ribuan kayu log kembali dialirkan. Para pembalak kejar target menurunkan kayu sebelum air sungai surut pada puncak kemarau, bulan depan.
Pihak BBKSDA Riau memang terkesan ciut melihat kenekatan pembalak liar. Menurut Kepala Bidang I BBKSDA Andri Hansen Siregar, tiga tahun lalu operasi pemberantasan pembalakan liar di Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, berakhir tragis. Petugas BBKSDA dan polisi kehutanan disandera warga di balai desa. Kendaraan dinas BBKSDA dirusak.
Sejak kejadian itu, BBKSDA Riau sangat berhati-hati berhadapan dengan aktivitas ilegal warga Rimbang Baling. Wakil pemerintah pusat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu sangat menghindari polemik dengan warga pembalak.
Bukan hanya BBKSDA Riau yang enggan berhadapan dengan pembalak. Semua LSM bermisi konservasi di SM Rimbang Baling, seperti WWF, Yapeka, Indecon, Imbau, World Resource Institute, AMAN, dan Siku Keluang, juga lunak menghadapi pembalak liar.
Jangankan melarang warga menebang pohon hutan, para tokoh LSM itu pun tak menyuarakan protesnya kepada media. ”Kalau ada penertiban di Rimbang Baling, kami selalu dituduh sebagai penggerak operasi, padahal tidak begitu. Kami memang menghindari polemik dengan warga karena pekerjaan konservasi kami butuh dukungan masyarakat juga,” tutur Syamsidar, juru bicara WWF Riau.
Penyadaran masyarakat agar tidak menebang pohon di Hutan Rimbang Baling banyak dilakukan. Semua LSM mengajak, memberi arahan, menyuluh, sampai memberi alternatif pekerjaan. Beberapa warga memang bersedia, tetapi pencuri kayu di hutan tak pernah berkurang.
Alasan utama membalak sangat klasik, yaitu persoalan ekonomi. Harga karet dua tahun terakhir anjlok dan tak lagi cukup membiayai hidup keluarga. Namun, pembalak juga enggan mencari alternatif pekerjaan lain. Uang hasil membalak lebih jelas daripada pekerjaan lain.
Alhasil, terjadi dualisme. Ada yang berpihak terhadap LSM. Namun, tidak sedikit yang pendukung pembalak. WWF juga mengajak pendakwah agama prokonservasi di Kampar Kiri Hulu untuk menyadarkan warga.
Ustaz Ahmad Sodik, Ketua Forum Dai Konservasi Rimbang Baling asal Desa Tanjung Belit, mengatakan, tidak gampang menyadarkan warga untuk tidak menebang kayu di hutan. Namun, ia berjanji terus menyuarakan perlindungan hutan dan satwa liar.
”Mulai Jumat ini kami akan dakwah melalui radio komunitas di Rimbang Baling. Kami berharap dakwah kami mendapat perhatian dari warga,” kata Sodik. Namun, Sodik sadar belum dapat berharap banyak dari pembalak liar. Persoalan sangat kompleks. Permintaan kayu dari luar sangat tinggi.
Ucapan Sodik benar. Memutus rantai pemesan dan pembalak sangat mendesak. Selama keduanya masih terhubung, selama itu pula hutan terindah di Riau itu terus dijarah tanpa ampun. Sebenarnya, masalah jelas di depan mata. Tinggal aparat, Polri ataupun Kementerian LHK, kapan menggunakan kewenangannya. Pembalakan liar di Rimbang Baling sangat bisa dihentikan.