Menengok Kampung Serdadu Filipina di Tanjung Priok
Seperti suku Bugis yang dikenal sebagai serdadu bayaran dan pelaut yang ditakuti di zaman penjelajahan Eropa ke Asia sejak 1500-an, di Filipina ada suku Pampanga asal Pulau Luzon yang dikenal sebagai serdadu bayaran tangguh di wilayah Nusantara.
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Seperti halnya suku Bugis yang dikenal sebagai serdadu bayaran dan pelaut yang ditakuti di zaman penjelajahan Eropa ke Asia sejak tahun 1500-an, di Filipina terdapat suku Pampanga asal Pulau Luzon yang juga dikenal sebagai serdadu bayaran yang tangguh di wilayah Nusantara. Sebagian dari keturunan mereka ada yang bermukim di kota Batavia dan namanya diabadikan menjadi Kelurahan Papanggo di Jakarta Utara, tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok.
Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Mona Lohanda, menjelaskan, ada resimen orang Pampanga yang menjadi serdadu VOC atau kompeni Belanda di tahun 1700-an Masehi. Belanda menyebutnya sebagai Pampangers. ”Mereka membentuk satuan militer tersendiri sebagai bagian kekuatan militer VOC yang berasal dari berbagai kebangsaan,” kata Mona Lohanda.
Lambat laun, menyesuaikan lidah orang Melayu, nama Pampangers pun berubah menjadi Papanggo. Mereka memiliki tangsi dan hunian di timur laut kota Batavia yang kini menjadi Kelurahan Papanggo, di dekat Danau Sunter Utara, Kampung Warakas, serta pabrik perakitan mobil milik kelompok usaha Toyota Astra dan Astra Daihatsu.
Tidak jauh dari sana, kompeni Belanda menempatkan komunitas Portugis Protestan di Kampung Tugu yang kini dikenal dengan kesenian Keroncong Tugu dan Gereja Tugu salah satu landmark kawasan tersebut.
Salah satu tokoh dari komunitas Pampanger tersebut adalah Major Jantje atau Augustin Michiels, yang merupakan tuan tanah di daerah Tjitrap atau Citeureup, orang terkaya di Jawa tahun 1800-an. Major Jantje dikenal memiliki bisnis sarang walet dan memiliki landhuis besar yang dilengkapi pembantu, pemusik, kandang kuda, kuda peliharaan, kereta, dan merintis kesenian tanjidor.
Kekayaan dan gaya hidup flamboyan Mayor Jantje ditulis oleh Johan Fabricius dalam buku roman sejarah Major Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad Ke-19. Goa sarang walet di Klapanunggal serta tanah dan rumah sewa yang disewakan kepada orang Tionghoa dan Arab menjadi tambang emas sumber kekayaan Mayor Jantje. Setiap pekan, ia menjamu tamu-tamu dari berbagai kalangan menikmati orkestra di Vila Tjitrap.
Kekayaan tersebut diabadikan dalam lambang keluarga (coat of arms) Mayor Jantje yang menampilkan gambar burung walet. Coat of arms lazim digunakan oleh keluarga-keluarga bangsawan dan berpengaruh di masyarakat Eropa hingga kini.
Para pejabat kompeni dan saudagar-saudagar dijamu oleh Mayor Jantje di vilanya yang kini sudah hilang tak berbekas. Mereka berpesta semalam suntuk dengan iringan musik yang merupakan kombinasi instrumen Eropa dan tradisional berikut para penyanyi yang cantik mengiringi kemeriahan malam-malam di Vila Tjitrap.
Diboyong dari Ternate
Sejarawan Filipina, Ian Christopher Alonso, yang menjadi Sekretaris Nasional Peringatan 500 Tahun Pelayaran Keliling Dunia (Pelayaran Magellan) dari Spanyol ke Amerika Selatan-Pasifik-Filipina-Maluku dan pulang ke Eropa lewat Samudra Hindia-Pesisir Afrika, mengatakan, para prajurit Pampangers tersebut tidak diboyong kompeni Belanda langsung dari Pulau Luzon.
”Mereka diboyong dari Ternate sebagai bagian dari pasukan Spanyol. Semasa itu terjadi persaingan Spanyol-Portugis di Maluku Utara. Terakhir, kompeni Belanda mengalahkan Spanyol dan bekas pasukannya, termasuk para prajurit Pampanga, dibawa Belanda ke Jawa,” kata Alonso.
Menurut Alonso, dia dan delegasi sejarawan Spanyol-Portugis baru saja mengunjungi Ternate dan Tidore pada awal pekan ini sepanjang tanggal 15-18 Juli 2019 sebagai bagian dari program peringatan 500 Tahun Pelayaran Magellan yang puncaknya dirayakan tahun 2021 antara Spanyol-Portugis-Filipina-Malaysia-Brunei Darussalam dan Indonesia.
”Presiden Rodrigo Duterte secara khusus memerintahkan agar tidak saja mencari jejak sejarah Spanyol dan Portugis, tetapi juga yang terpenting hubungan zaman Sriwijaya dan Majapahit dengan Kepulauan Filipina sebagai sesama bangsa serumpun Austronesia,” kata Alonso yang berasal dari keluarga etnik Pampanga dan Bicol.
Pada Kamis (18/7/2019) malam, Alonso langsung meluncur ke Kampung Papanggo setiba di Bandara Soekarno-Hatta dari penerbangan Ternate-Manado-Jakarta. Dengan antusias dia memotret papan informasi Taman Papanggo, plang Jalan Papanggo, dan sekeliling Kampung Papanggo yang, menurut dia, masih disebut dalam sejarah Filipina. Akan tetapi, belum pernah ada penelitian menyeluruh mengenai kaum Pampanga di Batavia yang kini menjadi kelurahan– setara barangay–di Filipina. ”Mungkin saya sejarawan Filipina dan Pampanga pertama yang mengunjungi Kampung Papanggo setelah seabad lebih jejak masyarakat Pampanga di Pulau Jawa menghilang,” ujarnya.
Menurut Alonso, kosakata dalam dialek Pampanga memiliki banyak kemiripan dengan bahasa Indonesia. ”Kanan”, ”taman”, ”tanaman”, dan ”anak mandiri”—sebutan anak tunggal adalah beberapa contoh kesamaan kosakata bahasa Indonesia dan dialek Pampanga yang sedikit berbeda dari bahasa Tagalog, bahasa nasional Filipina.
Secara adat istiadat, masyarakat Pampanga dan beberapa wilayah Filipina juga memiliki tradisi membuat canang dan sesaji bunga seperti di Bali. Tradisi leluhur tersebut dilakukan setahun sekali pada hari raya Katolik Para Orang Suci (All Saints Day). Berbagai tradisi lain juga membuktikan pertalian darah dan budaya Austronesia antara Indonesia dan Filipina.
Momentum peringatan 500 Tahun Pelayaran Magellan tentunya menjadi waktu yang pas bagi Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia dalam mempererat kembali hubungan sesama bangsa Austronesia yang terputus akibat garis perbatasan yang dibangun kolonialisme Barat sejak 1600-an hingga Perang Dunia II.