Populasi ikan hiu kejen atau silky shark (Carcharhinus falciformis) di perairan Lombok, Nusa Tenggara Barat, kian berkurang. Meski demikian, hingga saat ini belum ada larangan penangkapan hiu jenis ini.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Populasi ikan hiu kejen atau silky shark (Carcharhinus falciformis) di perairan Lombok, Nusa Tenggara Barat, kian berkurang. Hal itu terindikasi dari perburuan para nelayan di Desa Tanjung Luar dan Desa Maingkik, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, yang mencapai Pulau Flores dan Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Meski demikian, hingga saat ini belum ada larangan penangkapan hiu jenis ini.
”Tahun 1980, nelayan masih bisa memancing ke wilayah selatan perairan Lombok Tengah dan Lombok Barat. Sekarang ini, mereka memancing hiu kejen ke perairan Pulau Flores,” kata Amin Abdullah, nelayan yang juga Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan, di Desa Tanjung Luar, Lombok Timur, Sabtu (20/7/2019), dihubungi dari Mataram.
Para nelayan di Desa Tanjung Luar dan Maringkik juga hanya bisa membawa 10 hiu sehari seberat 20-30 kilogram per ekor. Hiu itu dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Luar seharga Rp 400.000-Rp 500.000 per ekor. Jumlah tangkapan itu tidak bisa memenuhi permintaan pasar yang mencapai 200 ekor sehari. Di dekade sebelumnya, permintaan itu bisa terpenuhi.
Berkurangnya populasi hiu kejen dan hiu lain itu disebabkan tingginya penangkapan. Penangkapan selama ini dianggap sebagai tangkapan sampingan (by catch), bukan tangkapan target. Padahal, di Lombok Timur, nelayan menangkap hiu secara turun-temurun. Apalagi, harga pasarnya menjanjikan. Sirip, daging, kulit, tulang, dan giginya memiliki nilai jual.
Berkurangnya populasi hiu kejen dan hiu lain itu disebabkan tingginya penangkapan.
Di tingkat lokal, ucap Amin, daging hiu juga masih diminati warga. Daging dihargai Rp 5.000 per kg. Para penjual juga ”ahli” menghilangkan bau daging hiu yang diolah sedemikian rupa saat proses pemindangannya sehingga di pasar sulit membedakan daging hiu, cakalang, dan tongkol.
Daging hiu juga dijual kepada pengusaha di obyek wisata Senggigi, Lombok Barat, untuk dijadikan bahan membuat bakso. ”Enak tidaknya relatif sifatnya. Saya, kalau disuruh pilih bakso daging hiu atau bakso daging sapi, saya pilih bakso daging sapi,” ujar Edi Suryadi, warga Desa Kopang, Lombok Tengah. Harga bakso daging hiu sekitar Rp 15.000 per mangkuk.
Menurut Amin, sulit membendung nelayan untuk tidak menangkap hiu, dengan alasan kelestarian populasinya, karena harga jualnya menjanjikan dan sudah menjadi pekerjaan turun-temurun. Selain itu, ada permintaan pasar, seperti sirip hiu kering yang harganya selangit. Oleh sebab itu, penangkapan hiu tetap berjalan meski biaya operasional melaut relatif tinggi, mencapai Rp 15 juta sekali melaut.
Para nelayan biasanya berlayar memburu hiu sekitar 15 hari menggunakan kapal bermesin 5 GT. Mereka memakai pancing rawai hanyut terdiri atas 500-600 mata pancing, yang tali utamanya mengapung di permukaan air laut. Mereka juga menggunakan pancing rawai dasar terdiri atas 50-60 mata pancing, yang tali utamanya ditenggelamkan di bawah permukaan air.
Belum dilarang
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB Lalu Hamdi mengakui, pemancingan hiu kejen tetap berjalan karena jenis hiu belum dilarang penangkapannya. Yang dilarang penangkapannya dan dilindungi undang-undang, antara lain, adalah hiu macan, hiu gergaji, dan ikan pari manta.
Saat ini, nelayan penangkap hiu di Lombok Timur berjumlah 139 orang yang mengoperasikan 56 kapal.
Upaya penyuluhan dan edukasi masyarakat untuk menghentikan penangkapan hiu terus dilakukan meski hasilnya belum optimal karena permintaan sirip hiu masih berjalan. Harga sirip hiu mencapai Rp 3 juta per kg, yang diekspor ke China melalui Bali dan Surabaya, Jawa Timur.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan NTB menunjukkan, produksi hiu di NTB tahun 2016 mencapai 8.006 ekor, tahun 2015 sebanyak 5.198 ekor, dan tahun 2014 berjumlah 6.480 ekor. ”Tahun-tahun berikutnya, kami masih mendatanya,” kata Lalu Hamdi.