Rancangan PP Terkait Pemekaran Daerah Belum Tuntas
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat belum menuntaskan dua rancangan peraturan pemerintah terkait penataan daerah otonom. Tanpa peraturan tersebut, keran pemekaran daerah tidak bisa dibuka kembali. Evaluasi besar memang dibutuhkan setelah otonomi daerah diterapkan selama 20 tahun.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik yang dihubungi pada Sabtu (20/7/2019) menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pihaknya wajib menyusun dua peraturan pemerintah (PP) yang mengatur perihal pemekaran daerah. Peraturan tersebut yaitu tentang penataan daerah dan desain besar penataan daerah.
Akmal menambahkan, susunan dua PP tersebut sudah diselesaikan. Salah satu yang dibahas di dalamnya adalah mengenai proyeksi jumlah daerah otonom baru. ”Akan tetapi, PP itu belum bisa ditindaklanjuti karena belum disetujui oleh lintas kementerian dan belum ada keputusan politik dari presiden,” katanya.
Penerbitan kedua PP itu nantinya praktis membuka keran pemekaran daerah. Hal tersebut harus disesuaikan dengan keputusan politik presiden. Sepanjang masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, peraturan itu tidak diterbitkan karena selama itu pula moratorium pemekaran daerah dilaksanakan.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komite I DPD Beni Ramdani mendorong agar kedua PP tersebut segera diterbitkan. Ia berpendapat, pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, moratorium perlu dicabut.
Sebab, pemekaran daerah merupakan salah satu cara untuk mewujudkan agenda prioritas presiden, yaitu membangun dari daerah terpinggir dan mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dari daerah terluar.
Sejumlah usulan pemekaran daerah pun sudah masuk. ”Sejak 2016, DPD telah menetapkan usulan pembentukan 173 daerah otonom baru. Sejumlah daerah tersebut kami nilai memenuhi syarat untuk dimekarkan,” kata Beni.
Menurut dia, pemekaran perlu dilaksanakan kembali dengan memprioritaskan daerah yang ada di Indonesia timur. Wilayah tersebut tertinggal selama puluhan tahun karena sebelumnya pembangunan diprioritaskan pada Indonesia bagian barat.
Beni menambahkan, pemerintah semestinya tidak mengkhawatirkan kinerja daerah. Sebab, di dalam UU No 23/2014 telah diatur bahwa pemekaran tidak serta-merta meresmikan daerah menjadi daerah otonom. Mereka perlu memasuki fase menjadi daerah persiapan selama tiga tahun dan dinilai oleh tim independen yang terdiri dari pemerintah, DPR, dan DPD.
Tata ulang
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, presiden perlu mempertimbangkan untuk tetap melaksanakan moratorium pemekaran daerah. Pembentukan daerah otonom baru dapat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena sebagian besar aktivitas daerah tersebut dibiayai dari pusat. Dampaknya, pembangunan di bidang lain bisa terhambat.
Ia yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Periode 2010-2014 menjelaskan, berdasarkan evaluasi komprehensif terakhir yang dilakukan terhadap seluruh daerah otonom pada 2012, sejumlah 80 persen daerah otonom gagal berkembang. Salah satunya dari segi kemandirian ekonomi yang diukur dari rasio pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah.
”Pada tingkat provinsi, hanya DKI Jakarta yang PAD-nya kuat. Selain itu, rata-rata lebih besar dana transfer dari pemerintah pusat ketimbang PAD. Apalagi di tingkat kabupaten/kota (kondisinya lebih buruk),” kata Djohermansyah.
Hal itu diperkuat dengan hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap 18 daerah otonom baru yang dibentuk pada 2012, 2013, dan 2014. Sepanjang 2014-2018, hanya Provinsi Kalimantan Utara yang mampu mencapai angka 20 persen. Disusul Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten Pulau Taliabu yang rasio PAD terhadap total pendapatan daerahnya di atas 10 persen. Sementara itu, rasio 13 daerah otonom baru lainnya ada di bawah angka 10 persen, bahkan di bawah 5 persen.
Menurut Djohermansyah, secara ideal rasio PAD terhadap total pendapatan daerah paling sedikit mencapai 50 persen. Daerah harus mampu menunjukkan performa dalam membiayai aktivitasnya. ”Kalau tidak bisa, artinya dia sudah keluar dari konsep dasar otonomi daerah, yaitu automoney,” ujarnya.
Meski demikian, ratusan daerah otonom yang dibentuk sejak 1999 tidak ada yang digabungkan dengan daerah lain atau dikembalikan ke daerah induk karena gagal berkembang. Penggabungan atau pengembalian itu terkendala faktor sosial dan politik daerah.
Berdasarkan pengalaman tersebut, kata Djohermansyah, pemekaran daerah harus dilakukan dengan amat selektif. Satu-satunya kepentingan mendesak untuk kembali membentuk daerah otonom adalah terkait kepentingan strategis nasional, contohnya daerah perbatasan.
”Sepanjang 10 tahun ini permasalahan yang muncul sejak 1999 mesti dirapikan dan diselesaikan terlebih dulu. Kita jangan menambah pekerjaan rumah dengan membentuk daerah otonom baru lagi,” kata Djohermansyah. Perlu ada peninjauan kembali terhadap kemampuan keuangan, ekonomi, birokrasi, dan pengelolaan manajemen pemerintahan terhadap seluruh daerah otonom.
Ia menambahkan, meskipun keran pemekaran daerah ditutup, pemerintah harus tetap hadir untuk memenuhi kebutuhan daerah. Salah satunya dengan memperbaiki pelayanan publik. Pelayanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, harus didekatkan ke tingkat kecamatan.
Selain itu, pemerintah pusat juga perlu terus membimbing dan memberikan penguatan teknis kepada pemerintah daerah untuk bisa mandiri. Sebab, keberhasilan daerah otonom sangat bergantung pada kreativitas dan inovasi di setiap pemerintahan.