Requiem Burung Gereja
Kompas/Supriyanto Cartoons
Marbot mengambil sapu dari pojok masjid lalu dia menyapu, dari ujung dalam masjid hingga ujung luar. Dia telah menekuni pekerjaan ini setengah dari usianya yang sekarang sudah tidak muda lagi. Rambut, kumis dan janggut telah memutih. Dia tidak terlalu pandai merawat diri, padahal dia selalu membuat masjid bersih dan rapi sehingga orang-orang yang akan beribadah merasa nyaman. Jari-jari keriput menggenggam tangkai sapu dengan erat, matanya sudah terlatih melihat bagian-bagian kotor dan berdebu, tak terkecuali kotoran-kotoran burung yang mengering di lantai masjid.
Sudah sejak lama burung-burung gereja hidup dan bersarang di atap masjid atau di sudut-sudut tiang masjid. Sejak Marbot masih kecil, masjid itu selalu ramai oleh cicit burung gereja jika pagi dan sore, hingga sekarang belum banyak berubah. Struktur bangunan masih kuno, atap dan tiang terbuat dari kayu-kayu jati. Tembok-tembok menara sudah retak menampakan bata-bata merah. Di atas menara ada toa, warnanya pun sudah memudar. Jika tak ada Marbot, masjid ini mungkin terlihat akan sangat kumuh, untunglah Marbot selalu tepat waktu untuk membersihkan.
Dia mengambil kain pel dan ember, kemudian mengepel lantai masjid. Waktu shalat duhur sudah dekat, dia tak ingin orang-orang yang akan shalat terganggu dengan kotoran dan debu. Tercium aroma sabun pembersih lantai, sesekali dia berhenti kemudian perlahan menegakkan badan, wajahnya meringis dan tangannya memegang pinggang menahan rasa sakit. Penyakit tua, pinggang sering terasa nyeri jika terlalu lama membungkuk. Setelah beberapa saat berdiri, dia melanjutkan pekerjaan mengepel lantai hingga tuntas. Kemudian, dia mengibas-ngibas karpet yang dijemur di halaman masjid, debu-debu berterbangan membuat terbatuk. Setelah merasa cukup bersih, karpet digulung lalu dipanggul. Sambil menahan rasa sakit di pinggang, dia membawa karpet ke dalam masjid, lalu menggelarnya.
Burung gereja bercericit. Kita tak pernah paham kicauan burung gereja itu, mereka menggunakan bahasa yang tidak kita kenal. Yang kita saksikan hanya burung-burung yang lompat dari tiang-tiang atap masjid, sesekali menyisir bulu-bulu, atau lompat ke sarang, memberi makan anak-anaknya kemudian terbang keluar masjid, mencari biji-bijian. Sementara Marbot menyelesaikan pekerjaannya. Setelah karpet tergelar dengan rapi, kipas-kipas yang dinyalakan meniupkan aroma pengawi lantai. Masjid ini terasa sejuk meskipun di luar matahari bersinar terik.
“Marbot!” panggil Pak Kyai.
Seorang lelaki berjanggut, memakai sorban putih dan tutup kepala putih. Marbot begitu hormat kepada lelaki itu, dia berjalan menghampiri, kemudian bersalaman sambil mencium tangan.
“Iya Pak Kyai, ada apa?” tanya Marbot.
“Kamu bisa jaring burung-burung itu?” tanya Pak Kyai.
“Dijaring Pak Kyai?”
“Iya. Minggu depan ada pasangan calon gubernur akan meninjau masjid kita ini, dan mereka berencana akan mendanai pembangunan masjid.”
“Tapi kan… burung itu tidak menggangu Pak Kyai.”
“Sudahlah, tugasmu hanya ikuti perintah.”
Marbot terdiam. Sedangkan Pak Kyai pergi ke tempat wudu, meninggalkan Marbot yang masih terdiam. Di dalam hati ada perasaan lain, dia merasa burung-burung gereja tidak pernah mengganggu, justru burung itu membuat dirinya nyaman, dia seolah memiliki teman di dalam masjid ini ketika sedang bersih-bersih. Tak ada orang yang betah di dalam masjid ini, sebab memang sudah sangat tua, dan jika tidak dirinya yang setiap hari membersihkan masjid, pasti masjid ini akan terlihat semakin tua dan kumuh.
***
Setelah azan dan melaksanakan shalat berjamaah, Marbot berjalan menyusuri gang sempit di antara rumah penduduk. Tujuannya jelas, menuju rumah Pak Kempling, seorang pemancing. Dia sangat gemar memancing dan menjala ikan. Meskipun sungai-sungai sudah tidak bersih lagi, tetapi Pak Kempling selalu setia kepada pekerjaan itu. Meskipun pulang dia tidak membawa ikan sama sekali, tetapi dia selalu bangga pulang ke rumah dengan badan tegapnya. Walaupun, sesampai di rumah istrinya akan marah-marah. Marbot akan meminjam jala ikan milik Pak Kempling untuk menjaring burung-burung gereja yang semakin banyak dan beranak-pinak di atap masjid.
“Ambilah di samping rumah!” suruh Pak Kempling.
Marbot berjalan menuju samping rumah petak Pak Kempling, matanya kemudian mencari benda yang dia cari, setelah ditemukan segera Marbot mengambil, kemudian pergi menuju masjid dengan perasaan yang tak menentu. Dia masih gelisah akan nasib burung-burung gereja yang tak berdosa, pikirnya, burung-burung gereja itu memiliki hak hidup dan menghuni masjid. Bukankah masjid adalah rumah Tuhan? Burung-burung gereja adalah makhluk Tuhan.
Sesampainya di dalam masjid. Marbot menyaksikan burung-burung gereja yang terbang ke sana-kemari, bercicit. Memberi makan anak-anaknya di sarang, kemudian mereka terbang lagi. Masjid ini ramai oleh burung-burung gereja, Marbot merasakan gembira dalam hati. Tidak pernah hatinya segembira ini, biasanya setelah membersihkan masjid, dia mencari pekerjaan sampingan. Menjadi tukang gali got, kuli proyek, mengumpulkan barang bekas, atau apa saja yang dapat menghasilkan uang untuk kehidupan keluarganya sehari-hari. Ya, menjadi penjaga masjid itu tidak bisa diharapkan secara penghasilan. Tetapi bagi Marbot, mengabdi menjadi penjaga sekaligus tukang kebersihan masjid adalah sesuatu hal yang sangat menggembirakan, apalagi setiap burung-burung gereja itu bercicit. Marbot menemukan suatu kedamaian yang tak terhingga. Kedamaian di kota yang terlalu berisik, sibuk dan berpolusi.
“Biarlah mereka di sini!” ucap Marbot sambil membanting jaring.
Dia kemudian melangkah meninggalkan masjid. Di dalam dirinya berkecamuk. Ada rasa takut jika Pak Kyai marah, ada perasaan simpati yang teramat besar untuk burung-burung itu, ada perasaan yang begitu yakin bahwa apa yang dia lakukan adalah sesuatu hal yang benar.
Kota, memang cerminan harapan bagi penduduk di suatu negeri, mereka berbondong-bondong hijrah ke sana untuk mencari kehidupan. Kita berada di sini, menyaksikan itu semua meskipun kita harus tersingkir, tak ada taman-taman hijau, tak ada pepohonan teduh, tak ada bahan makanan cukup. Kita hidup dalam bayang-bayang kematian, jika tidak bergerak maka pasti akan terlindas oleh roda kehidupan.
“Marbot!” teriak Pak Kyai.
Marbot berlari tergopoh-gopoh, tubuh renta sudah tak kuasa untuk bergerak cepat dan lincah. Malam itu, Pak Kyai marah besar. Esok, calon gubernur akan datang mengunjungi masjid. Namun, burung-burung gereja masih nyaman menyisir bulu-bulunya di setiap sarang di sudut atap masjid. Pak Kyai sudah tak kuasa menahan hawa nafsu, sebagai manusia tentu amarah tersimpan dalam hati, apalagi perintahnya dilawan oleh seorang penjaga masjid, secara pendidikan dia lebih rendah daripada dirinya.
“Saya tak sanggup untuk menangkap burung gereja itu Pak Kyai.”
“Tapi ini perintah!”
“Jika saya telah dianggap melawan perintah Pak Kyai, silakan pecat saya sebagai penjaga sekaligus pembersih masjid ini.”
Pak Kyai terdiam. Hanya giginya saja terdengar, gemerutuk saling beradu. Matanya melotot menatap Marbot. Sepanjang hidup menjadi Kyai, baru kali ini ada orang yang membantah perintahnya.
“Ya sudah. Kau kupecat!”
Marbot menundukkan kepala, dalam hati ada perasaan getir. Dia harus merelakan pekerjaan yang dicintainya, harus pasrah kepada takdir, melupakan kenangan bersama masjid, burung-burung dan sejarah bangunan kuno itu. Namun, tak ada yang dapat dipertahankan. Dia berpamitan, mencium tangan Pak Kyai dengan begitu khidmat, lalu melangkah gontai meninggalkan segalanya yang telah dia ukir di masjid itu.
Setelah kepergian Marbot, Pak Kyai mengumpulkan seluruh santri, mereka merencanakan gerakan rahasia untuk mengepung burung-burung gereja yang sedang terlelap tidur di atap masjid setelah seharian mencari makan. Tidak hanya itu, mereka pun menyiapkan panggangan, arang dan bumbu. Malam ini mereka akan berpesta daging burung gereja. Segala cara dihalalkan untuk menangkap burung-burung itu, sebab sudah tak ada waktu, esok calon gubernur akan meninjau lokasi ini dan memberikan bantuan yang sangat besar demi pembangunan masjid.
***
Kita berhamburan dari sarang. Menyaksikan Pak Kyai dan para santri berang, membabi-buta. Anak-anak kami yang masih bayi ditanggkap, lalu dipanggang di atas unggunan api. Burung-burung gereja lain yang tak beruntung mengalami nasib sama, malam gelap membutakan pandangan kita, sehingga sulit terbang jauh. Jiwa-jiwa mereka melayang dari unggunan, kita menyaksikan itu semua dengan hati rawan, sebab suatu saat jiwa kita akan dipanggang dalam kobaran api yang sangat panas. Tak ada yang selamat, sebab kita hanya burung gereja yang hidup di tengah kota, di mana penduduknya merasa lapar setiap hari...
Nana Sastrawan, nama pena dari Nana Supriyana, lahir, 27 Juli 1982. Pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Meraih Penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015.