Respons Positif dan Negatif Warganet Setelah Jokowi-Prabowo Bertemu
Pertemuan dua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, beberapa waktu lalu, menimbulkan respons beragam dari warganet. Sebagian menyambut baik dan menganggapnya sebagai rekonsiliasi. Namun, sebagian lainnya merespons negatif.
SLEMAN, KOMPAS — Pertemuan dua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, beberapa waktu lalu, menimbulkan respons beragam dari warganet. Sebagian menyambut baik dan menganggapnya sebagai bentuk rekonsiliasi. Namun, sebagian lainnya justru merespons negatif.
Hal itu terungkap dari riset Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Dalam riset tersebut, CfDS meneliti respons pengguna media sosial Twitter tentang pertemuan Jokowi dan Prabowo pada Sabtu (13/7/2019) lalu di Stasiun Moda Raya Terpadu Lebak Bulus, Jakarta.
”Ada kecenderungan warganet mengidentifikasi pertemuan Jokowi dan Prabowo dengan rekonsiliasi, baik sentimen pro maupun kontra,” kata Manajer Digital Intelligence Lab CfDS UGM Treviliana Eka Putri saat memaparkan hasil penelitiannya, kemarin, di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta.
Treviliana mengatakan, berdasarkan pengamatan terhadap cuitan para pengguna Twitter selama 13-16 Juli 2019, banyak pendukung Jokowi yang cenderung memberi respons positif terhadap pertemuan Jokowi-Prabowo.
Sementara itu, sebagian pendukung Prabowo justru berkomentar dengan sentimen negatif terkait pertemuan tersebut.
”Kalau dari pihak pro-Pak Jokowi, lebih banyak yang berkomentar dengan nada positif terhadap pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo, misalnya dengan naiknnya hashtag #03PersatuanIndonesia. Adapun dari pihak 02 (pendukung Prabowo) banyak muncul sentimen yang bernada kekecewaan terhadap pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo,” katanya.
Kalau dari pihak pro-Pak Jokowi, lebih banyak yang berkomentar dengan nada positif terhadap pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo, misalnya dengan naiknnya hashtag #03PersatuanIndonesia. Adapun dari pihak 02 (pendukung Prabowo) banyak muncul sentimen yang bernada kekecewaan terhadap pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo.
Meski begitu, Treviliana menambahkan, realitas yang terjadi di Twitter itu belum tentu mencerminkan realitas di dunia nyata. Hal ini karena tidak semua pendukung capres, baik di kubu Jokowi maupun Prabowo, aktif di Twitter.
”Kami belum bisa memastikan apakah pendukung kedua kubu yang tidak ada di Twitter juga ikut merasakan sentimen yang sama dengan yang ada di Twitter,” katanya.
Dalam risetnya, CfDS juga meneliti cuitan pengguna Twitter selama 13-16 Juli 2019. Hasilnya, dari total 169.238 cuitan warganet terkait pertemuan Jokowi-Prabowo, terdapat lima tagar (hashtag) yang paling ramai digunakan. Treviliana mengatakan, tagar yang paling banyak digunakan dalam cuitan terkait pertemuan Jokowi-Prabowo adalah #03PersatuanIndonesia. Dalam catatan CfDS, ada 45.214 cuitan dengan tagar tersebut.
”Berdasarkan hasil penelitian kami, dari lima hashtag yang ada, hashtag paling populer adalah #03PersatuanIndonesia, yang muncul pada 13 Juli 2019 setelah pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo,” ungkapnya.
Empat tagar populer
Menurut Treviliana, #03PersatuanIndonesia merepresentasikan respons positif atau dukungan terhadap pertemuan Jokowi-Prabowo. Hal ini menunjukkan, cukup banyak pengguna Twitter merespons positif pertemuan keduanya. Namun, ada sebagian pengguna Twitter yang merespons negatif pertemuan itu. Berdasarkan riset CfDS, ada empat tagar populer, yaitu #0p0sisiTanpaRek0nsiliasi dengan 19.595 cuitan, #AniesBaswedanforPresident (19.146 cuitan), #KampretAkanTetapBerjuang (12.335 cuitan), dan #RekonsiliasiRasaTerasi (6.591 cuitan).
Ia menambahkan, saat dianalisis lebih jauh, #03PersatuanIndonesia ternyata punya jumlah original post atau pesan orisinal yang paling banyak, yakni 21 persen dari total cuitan. Sementara itu, empat tagar lain hanya punya pesan orisinal kurang dari 15 persen.
#0p0sisiTanpaRek0nsiliasi, misalnya, hanya memiliki pesan orisinal sebanyak 8 persen, #AniesBaswedanforPresident (11 persen), #KampretAkanTetapBerjuang (8 persen), dan #RekonsiliasiRasaTerasi (12 persen).
Peneliti CfDS UGM, Paska Darmawan, mengatakan, analisis mengenai jumlah pesan orisinal penting untuk melihat seberapa banyak pengguna Twitter terlibat secara aktif saat berkicau menggunakan tagar tertentu. Jika jumlah pesan orisinal dalam sebuah tagar ternyata hanya sedikit, bisa disimpulkan penggunaan tagar itu hanya digerakkan orang-orang tertentu saja.
”Kami melihat original post karena ingin melihat apakah hanya ada beberapa akun Twitter tertentu saja yang menggerakkan tagar itu. Ketika original post persentasenya cukup kecil, berarti hanya ada sekelompok akun Twitter tertentu yang gerakkan tagar, sementara akun Twitter lainnya hanya menanggapi,” ujar Paska.
Kami melihat original post karena ingin melihat apakah hanya ada beberapa akun Twitter tertentu saja yang menggerakkan tagar itu. Ketika original post persentasenya cukup kecil, berarti hanya ada sekelompok akun Twitter tertentu yang gerakkan tagar, sementara akun Twitter lainnya hanya menanggapi.
Pengikut berkurang
Paska menambahkan, temuan lain yang menarik dari riset CfDS adalah fenomena berkurangnya jumlah pengikut akun Twitter Prabowo Subianto dan Partai Gerindra. Padahal, pada hari-hari lain, jumlah pengikut kedua akun Twitter tersebut biasanya bertambah.
Saat pertemuan Jokowi-Prabowo, jumlah pengikut akun Twitter Prabowo berkurang 891 orang. Sementara pengikut akun Twitter Partai Gerindra berkurang 568 orang.
Sehari setelah itu, jumlah pengikut akun Twitter Prabowo berkurang 4.621 orang. Sementara pengikut akun Twitter Partai Gerindra kembali berkurang 2.182 orang. Namun, Paska menuturkan, penelitian CfDS hanya mencatat bagaimana respons pengguna Twitter terhadap pertemuan Jokowi-Prabowo. Oleh karena itu, dia menambahkan, hasil penelitian tersebut tak bisa menggambarkan respons masyarakat umum terhadap pertemuan Jokowi-Prabowo.
”Data di Twitter itu cuma sebagian dari populasi pendukung kedua belah pihak sehingga kami juga tak bisa menggeneralisasi,” ujar Paska.
Data di Twitter itu cuma sebagian dari populasi pendukung kedua belah pihak sehingga kami juga tak bisa menggeneralisasi.
Tak cerminkan pendapat publik
Lebih jauh, sosiolog UGM, Arie Sujito, menyatakan, sentimen yang muncul di dunia maya, seperti Twitter, belum tentu mencerminkan pendapat masyarakat di akar rumput. Apalagi, Arie menilai, setelah pemilihan presiden (pilpres) usai, sebenarnya masyarakat di akar rumput tidak lagi mengalami ketegangan.
”Masyarakat di grass roots (akar rumput) itu pascapemilu sudah relatif cair. Salah satu ukurannya, mereka bekerja seperti biasa, tidak menciptakan kebencian, dan tidak berselisih di lapangan,” ujar Arie.
Ia menuturkan, ketegangan yang terjadi selama pilpres sebenarnya lebih terjadi di level elite dan kelompok menengah. Dua kelompok inilah yang kemudian memproduksi dan menyebarkan ketegangan di media sosial dan forum-forum lain.
”Ada kelas menengah dan elite yang mencari keuntungan dari ketegangan itu,” ucapnya. Arie menyatakan, pertemuan Jokowi-Prabowo diharapkan bisa mengurangi ketegangan di level elite dan menengah. Selain itu, ke depan, para elite politik diminta memberikan teladan dalam berpolitik sehingga tidak terus-menerus memproduksi dan menyebarkan ketegangan.
Ada kelas menengah dan elite yang mencari keuntungan dari ketegangan itu.
”Pertemuan kemarin harapannya bisa mengurangi tensi di kelompok menengah dan atas (elite). Kalau di grass roots, ada pertemuan atau tidak, mereka akan tetap cair,” katanya.