Pagi itu, pria berjaket hitam berjalan menuju mesin presensi yang terpasang di lantai dasar, menyatu dengan tempat parkir di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta. Cukup lama ia berdiri, mencoba memosisikan letak jarinya agar terpindai mesin yang menggunakan metode pembaca sidik jari itu. Namun, beberapa kali mencoba, jarinya selalu meleset dari mesin. Akhirnya, Novel Baswedan, penyidik senior KPK itu, dibantu sesama pegawai meletakkan jarinya ke mesin pindai.
Bukan sekali peristiwa semacam ini dialami oleh Novel. Hal ini terjadi akibat kondisi kedua matanya kian menurun akibat terpapar air keras yang disiramkan ke wajahnya pada April 2017. Meski demikian, hal itu tak menghentikan semangatnya untuk bertugas di KPK sekaligus berjuang menagih janji pengungkapan kasus penyerangannya.
Hasil tim pencari fakta (TPF) dari Polri yang sudah bekerja selama enam bulan pada Januari-Juli 2019 belum mampu menjawab harapan Novel. Tim yang terdiri dari anggota Polri, KPK, dan pakar itu tidak mengungkap penyerang Novel, tetapi malah menyebut penyerangan terjadi karena dugaan penggunaan wewenang berlebih saat Novel menangani perkara.
Perkara yang dimaksud adalah penangkapan Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu; kasus pengadaan KTP elektronik; kasus suap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar; korupsi pembangunan wisma atlet; serta suap penanganan perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung yang menyeret nama mantan Sekretaris Jenderal MA Nurhadi.
”Tidak ada satu pun pelaku yang diungkap. Yang terjadi motif yang dikembangkan. Namun, kemudian akal sehat kita bertanya bagaimana motif ada, tetapi pelaku tidak ditemukan. Seharusnya pelaku ditangkap baru diketahui motifnya,” kata Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap, akhir pekan lalu.
Kondisi ini kembali membangkitkan dorongan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, agar Presiden Joko Widodo membentuk TPF independen. Namun, Presiden Jokowi menyatakan masih memberi waktu tiga bulan kepada Tim Teknis Polri yang direkomendasikan TPF untuk menuntaskan kasus Novel.
Bagi Polri, kesulitan terbesar mengungkap kasus itu ialah petunjuk kepada tersangka yang sangat minim. Berdasarkan rekaman kamera pemantau (CCTV) di sekitar lokasi kejadian di Masjid Al-Ihsan, Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara, penyidik memastikan penyerang Novel ada dua orang yang mengendarai sepeda motor.
Setelah menyiram air keras ke wajah Novel, kedua pelaku melarikan diri melalui Jalan Musik Raya, sekitar 60 meter dari lokasi kejadian, lalu berbelok ke Jalan Taska. Setelah menempuh perjalanan sekitar 200 meter, mereka berbelok lagi ke Jalan Bellyra 4, dan terakhir masuk ke Jalan Bellyra Raya. Mereka meninggalkan kompleks perumahan melalui Jalan Tarian Raya Timur.
Gambar tidak jelas
Di rumah terakhir di Jalan Bellyra Raya terdapat kamera pemantau yang menangkap gambar pelaku. Kedua pelaku menggunakan helm full face. Helm berwarna hitam digunakan pengendara, sedangkan satu orang yang dibonceng menggunakan helm putih.
Akan tetapi, tidak terlihat jelas pelat sepeda motor ataupun wajah pelaku. Analisis yang dilakukan Kepolisian Federal Australia (AFP) juga tidak membuahkan hasil karena kualitas rendah hasil rekaman kamera pemantau.
Anggota tim pakar TPF, Nur Kholis, mengungkapkan, kualitas buruk kamera pemantau juga menjadi kendala TPF mengungkap tiga orang lain yang diduga berkaitan dengan penyiraman Novel. Mereka ialah satu orang yang mendatangi rumah Novel pada 5 April 2017 dan dua orang yang berada di tempat wudu di Masjid Al-Ihsan, 10 April 2017.
Anggota tim pakar TPF, Hendardi, menyayangkan kurangnya keterlibatan Novel dan masyarakat sipil memberikan petunjuk dan bukti dalam kasus itu. Ketika mewawancarai Novel, ujarnya, Novel hanya berkenan memberikan bukti kepada tim gabungan pencari fakta bentukan Presiden Jokowi.
Hal yang coba diklarifikasi TPF, salah satunya, daftar penyidik KPK yang diduga menjadi target penyerangan. Daftar itu disampaikan Novel dalam sebuah gelar wicara di televisi. Namun, Novel menolak menjawab pertanyaan itu.
”Kami tentu punya harapan sama kasus ini diungkap demi keadilan. Akan tetapi, kami tak mungkin mengorbankan orang tak bersalah,” kata Hendardi.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal M Iqbal mengatakan, pengungkapan kasus Novel hanya persoalan waktu. Tim teknis Polri akan melanjutkan rekomendasi TPF dan bekerja secara tertutup untuk menemukan tersangka dalam kasus itu.
Puri Kencana Putri dari Amnesty International Indonesia menyampaikan, TPF independen menjadi kebutuhan. Menurut dia, muncul kecurigaan saat berkas TPF untuk Novel yang dibentuk Polri ditutup aksesnya untuk publik. Berbeda dengan TGPF Peristiwa Mei 1998 dan TGPF Munir, masyarakat dapat membaca hasil kerja tim tersebut.
Di tengah gelap penglihatan Novel, upaya mencari terang untuk kasusnya juga tampaknya masih panjang.