Konflik berdarah berulang di Kabupaten Mesuji, Lampung. Kehadiran pemerintah pusat dibutuhkan untuk mengurai soal penguasaan dan distribusi lahan.
MESUJI, KOMPAS— Kehadiran nyata pemerintah menuntaskan akar masalah sengketa lahan berdarah di Register 45 Kabupaten Mesuji, Lampung, ditunggu publik. Pemerintah Kabupaten Mesuji meminta pusat segera turun tangan karena konflik horizontal berulang itu memakan korban jiwa dan mengganggu iklim investasi di daerah.
Pelaksana Tugas Bupati Mesuji Saply TH mengatakan, kewenangan pemkab terbatas untuk menyelesaikan masalah sengketa lahan di Register 45. Kawasan itu hutan negara di bawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain itu, mayoritas petani penggarap berasal dari daerah lain.
”Kami berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera turun tangan memberi solusi terbaik bagi masyarakat. Kami tidak bisa memberi solusi karena kewenangan pemerintah daerah terbatas,” kata Saply TH, Sabtu (20/7/2019), di Mesuji.
Pemkab Mesuji siap mendukung KLHK dan Pemprov Lampung menyelesaikan masalah itu. Saat ini, pemkab memberi layanan kesehatan bagi aparat di sekitar lokasi bentrok serta masyarakat yang bertahan di Register 45.
Kawasan Register 45 merupakan hutan tanaman industri yang izinnya dipegang PT Silva Inhutani Lampung (SIL). Berdasar data Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah VI Lampung, perusahaan itu mengelola 42.762 hektar area hutan. Kawasan Register 45 yang semestinya ditanami kayu lebih didominasi kebun singkong.
Menurut Saply, bentrok antarkelompok di Register 45 mengganggu iklim investasi di Mesuji. Investor tidak tertarik menanam modal karena stabilitas keamanan tak terjamin. ”Ada anggapan Kabupaten Mesuji tidak aman,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Mesuji Arief memaparkan, pada 2018, nilai investasi di Mesuji Rp 852 miliar. Mayoritas investasi itu di sektor perdagangan, industri pengolahan komoditas pertanian, dan perkebunan. Adapun investasi sektor manufaktur minim.
Terkait itu, Kepala Kepolisian Resor Mesuji Ajun Komisaris Besar Eddie Purnomo menjamin stabilitas keamanan di Mesuji. Polisi berpatroli di sejumlah titik rawan.
Empat hari setelah bentrok yang menewaskan tiga warga Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, aparat Polres Mesuji masih berjaga di perbatasan Lampung-Sumsel. Sebanyak 33 personel dibagi menjadi tiga regu berjaga 24 jam secara bergantian.
Belum beraktivitas
Pantauan Kompas, Sabtu, sejumlah warga yang bertahan di Register 45 belum berani beraktivitas di kebun. Warga memilih berkumpul di gubuk di dekat posko polisi.
Sugiman (51), warga dari Kelompok Mekar Jaya Abadi, mengaku trauma dengan insiden bentrok pada Rabu (17/7). Meski masuk masa panen, dia tidak berani ke kebun untuk memanen singkong.
”Lahan garapan saya jauh, 5 kilometer dari sini. Ngeri kalau sendirian,” ujarnya.
Warga yang terlibat bentrok telah bermitra dengan PT SIL. Namun, warga tidak puas dengan kesepakatan itu.
Tisnanta, pengamat hukum Universitas Lampung yang juga anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji, menilai, pola kemitraan yang tidak berjalan baik bisa memicu konflik di Register 45. Tidak adanya batas areal yang jelas memicu perebutan lahan antarkelompok. Kelompok paling kuat yang akan menguasai lahan paling luas.
Menurut dia, ada pembiaran pemerintah terhadap nasib puluhan ribu petani di Register 45. Akar permasalahan terkait tata kelola kehutanan tidak dibenahi. Akibatnya, konflik berdarah dipicu aksi premanisme selalu berulang.
Untuk itu, diperlukan kebijakan tegas pemerintah, pemda, dan kepolisian untuk menyudahi konflik itu. Perusahaan pemegang izin juga harus bertanggung jawab.
Saat dihubungi, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Bambang Hendroyono berjanji segera tinjau lokasi dan mengevaluasi pola kemitraan kehutanan PT SIL dengan masyarakat. Sementara itu, pihak perusahaan belum bisa dikonfirmasi. (VIO)