Peneliti: Orang Betawi Cenderung Malu pada Identitas Etnisnya
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak hasil perkawinan antaretnis di Betawi cenderung malu mengakui identitas etnisnya sebagai orang Betawi. Hal itu di antaranya disebabkan oleh stigmatisasi yang terbentuk di media bahwa orang Betawi digambarkan dengan citra negatif seperti ”nyablak” dan ”kampungan”.
Kondisi itu menimbulkan kegelisahan terutama soal eksistensi dan pelestarian budaya Betawi.
Namun, hasil penelitian dari peneliti Kajian Komunikasi Antarbudaya Puslit Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan justru orang-orang bikultural atau anak hasil perkawinan antaretnis di Jakarta bangga terhadap etnis Betawi. Mereka juga aktif berkegiatan dalam menjaga dan melestarikan budaya Betawi lewat kuliner dan media sosial.
Baca juga: Lebaran Betawi
Halimatusa’diah, peneliti LIPI yang meneliti tentang komunikasi individu bikultural di Jakarta, menyebutkan bahwa anak-anak hasil perkawinan antaretnis di Betawi justru mengidentifikasi dirinya dengan identitas orangtuanya yang lebih unggul. Mereka bahkan malu mengakui identitasnya sebagai orang Betawi.
”Kalau orang Betawi sendiri malu sebagai etnis Betawi, siapa yang akan melanjutkan budaya ini?” ujar Halimatusa’diah dalam diskusi bertema ”Orang Betawi dan Perhimpoenan Orang Betawi” di Setu Babakan, Minggu (21/7/2019). Diskusi yang digelar komunitas Betawi Kita itu masih dalam rangkaian acara Lebaran Betawi 2019.
Kalau orang Betawi sendiri malu sebagai etnis Betawi, siapa yang akan melanjutkan budaya ini?
Peneliti yang juga keturunan Betawi itu mengungkapkan, di sisi lain justru anak-anak yang berasal dari perkawinan nonetnis Betawi, tetapi tinggal dan terpapar budaya Betawi bangga menyandang identitas itu.
Baca juga: Serba Betawi di Penghujung Pekan
Mereka dengan pengalamannya secara sadar mendefinisikan diri sebagai orang Betawi. Hal itu karena sebenarnya orang tersebut tidak memiliki ikatan yang kuat oleh akar budayanya sendiri. Sementara itu, secara sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk mengikat diri pada kelompok tertentu. Di Indonesia, kelompok yang paling kuat adalah kelompok budaya.
Beberapa alasan yang dikemukakan narasumber bikultural memilih kesadaran etnis Betawi adalah sikap keterbukaan dan toleransi yang kuat, agama Islam sebagai perekat identitas, serta bahasa yang terlihat dari logat Betawi sebagai penanda kuatnya ikatan kultural.
”Mereka juga merasa nyaman, diterima, dan sesuai dengan agama yang mereka anut, yaitu agama Islam. Betawi di mata mereka merepresentasikan egaliter, terbuka, dan religius,” ujar Halimatusa’diah.
Kebanggaan orang nonetnis Betawi akhirnya mendorong mereka untuk aktif menjaga dan melestarikan budaya Betawi. Ada yang mendalami kuliner seperti kerak telur dan memperkenalkan hingga ke mancanegara. Ada pula yang aktif di media sosial Youtube dengan memuat konten-konten budaya Betawi.
Kondisi itu diharapkan ikut mendorong etnis Betawi terutama generasi milenial untuk mau mengenal apa itu budaya Betawi. Dengan demikian, mereka tidak malu terhadap identitasnya sebagai orang Betawi. Selain itu, mereka nantinya juga akan menjadi ahli waris, penjaga, dan pelestari budaya Betawi agar tidak punah.
Baca juga: Lebaran Tenabang 2019
Menurut Halimatusa’diah, sejumlah strategi yang bisa dilakukan komunitas Betawi adalah menyampaikan pesan dengan cara yang menyenangkan bahwa citra Betawi tidak melulu buruk seperti yang digambarkan di media. Ruang diskusi harus dihidupkan dengan konten yang mengena kepada generasi milenial. Dengan demikian, mereka mau mengenal dan mencintai identitasnya sendiri.
Sementara itu, dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Siswantari Sijono, mengemukakan, pada masa lampau identitas Betawi muncul sejak 1923 melalui Perhimpoenan Kaoem Betawi. Ada tiga orang yang sangat berperan dalam menjalankan organisasi itu, yaitu Muhammad Husni Thamrin, Muhammad Masserie, dan Abdul Manaf.
Sebelum muncul perhimpunan itu, masyarakat Betawi lebih sering menyebut dirinya berdasarkan identitas tempat tinggal seperti orang Kemayoran, orang Kebayoran, orang Tambun, dan orang Depok.
Baca juga: Tradisi Dodol Betawi di Hari Idul Fitri
Sejumlah faktor penyebab lahirnya Perhimpoenan Kaoem Betawi adalah Batavia yang menjadi kota pergerakan pribumi pada masa sebelum kemerdekaan. Apalagi, di Batavia saat itu sudah ada sekolah dokter STOVIA yang memegang peranan penting dalam kemajuan pendidikan.
Kemudian, muncul organisasi pemuda dan politik yang bersifat kedaerahan seperti Jong Java dan Jong Sumatranen Bond. Hal itu kemudian mendorong pemuda-pemudi Betawi membentuk solidaritas kebetawian mereka dengan membentuk Perhimpoenan Kaoem Betawi.
Kemudian, muncul organisasi pemuda dan politik yang bersifat kedaerahan seperti Jong Java dan Jong Sumatranen Bond. Hal itu kemudian mendorong pemuda-pemudi Betawi untuk membentuk solidaritas kebetawian mereka dengan membentuk Perhimpoenan Kaoem Betawi.
Selanjutnya, pada awal abad ke-20, kaum Betawi mengalami proses kemunduran karena aset tanah mereka dikuasai partikelir orang asing. Orang Betawi kemudian mundur dari masa kesuburan dan kemakmurannya. Rumah-rumah, tanah pekarangan, dan perniagaan jatuh ke tangan orang asing. Orang Betawi saat itu juga lebih tertarik pada pendidikan agama dibandingkan dengan pendidikan formal.
Baca juga: Kampung Sawah Tetap Guyub dalam Perjalanan Waktu
”Dulu pada masa penjajahan, gerakan politik Betawi lebih banyak dipengaruhi oleh ketokohon yang punya pengaruh kuat di zaman pergerakan seperti MH Thamrin, Masserie, dan Abdul Manaf,” kata Siswantari.