Arswendo Atmowiloto telah berpulang, Jumat (19/7/2019), di Jakarta. Namun, karya-karya Arswendo, penulis Senopati Pamungkas, terus akan dikenang.
Membaca novel Senopati Pamungkas sungguh mengasyikkan. Imajinasi pembaca diajak berkelana hingga era Singasari-Majapahit dengan bumbu intrik politik, percintaan, hingga adu jurus.
Menulisnya tentu tidak mudah. Harus menguasai sejarah hingga seluk-beluk konflik keraton pada masa itu. Harus paham olah badan dan kembangan jurus bela diri demi ”menghidupi” tokoh, seperti Senopati Upasara Wulung. Dan, Arswendo pun sukses meniupkan roh kehidupan bagi novel itu.
Arswendo sungguh serba bisa. Dalam hidupnya, dia tak hanya menjadi penulis, tetapi juga wartawan, sastrawan, serta budayawan. Tidak hanya menulis novel ksatria gebuk-gebukan, seperti Senopati Pamungkas, tetapi juga novel seri Keluarga Cemara yang kemudian difilmkan.
Dalam hidupnya, Arswendo juga tidak pernah lelah berkarya. ”Saya hampir tidak pernah melihat Bapak tidak megang pulpen untuk menulis atau di depan laptop,” ujar Caecilia Tiara, anak ketiga Arswendo. Novelnya, Barabas: Diuji Segala Segi, ditulisnya saat Arswendo bertarung melawan sakitnya.
Lahir di Solo, 26 November 1948, Arswendo merintis kariernya di majalah berbahasa Jawa, Dharma Kandha, pada 1969. Tahun 1972, dia bergabung dengan Kompas Gramedia. Sempat menjadi wartawan Kompas sebelum akhirnya Arswendo dipercaya memimpin beberapa majalah, seperti Hai, Senang, dan Monitor.
Tidak hanya meliput berita, Arswendo menyempurnakan hidupnya sebagai penulis berbagai karya. Mulai dari novel, cerpen, drama hingga naskah film. Beberapa karyanya, seperti skenario Arie Hanggara (FFI 1986), Pacar Ketinggalan Kereta (FFI 1989) hingga Jendela Rumah Kita (1995). Bukunya, Mengarang Itu Gampang, menjadi salah satu buku wajib bagi calon penulis atau siapa pun yang ingin menulis.
Ketika awak media kini berlomba untuk bekerja multiplatform, dulu Arswendo telah menjadi wartawan tulis yang melaporkan serta memberikan kritik bagi dunia pertelevisian.
”Kala itu, televisi hanya TVRI. Namun, saya kira tidak ada satu pun orang yang punya perhatian mendalam pada perkembangan televisi seperti Arswendo,” kata Bre Redana, mantan wartawan Kompas.
Ketika menjadi Pemred Monitor, Arswendo tersandung kasus sehingga dibui pada awal tahun 1990-an. Namun, tembok penjara tidak mampu memenjarakan pikirannya. Beberapa karya dihasilkannya seperti buku Menghitung Hari (1993), yang ditulisnya dengan renyah dan jenaka.
Jenaka dan gemar tertawa yang kemudian dikenang oleh para sahabatnya saat Arswendo berpulang. ”Ketawanya itu, lho, khas banget. Itu (persoalan) yang berat seakan menjadi ringan,” kata aktor kawakan Slamet Rahardjo.
Sebagaimana karya buku dan filmnya, yang tidak murahan, candaan Arswendo pun seolah punya pesan moral. Indro ”Warkop” juga ingat, Arswendo tidak suka jika ada orang bercanda meniru gaya orang cacat.
”Di Ancol, belasan tahun lalu, kami jadi juri. Ternyata, ada kontestan yang mencadel-cadelkan cara bicara. Waktu saya tegur bersama Mas Wendo, ternyata kontestan tersebut cadel betulan,” ujar Indro, tertawa.
Semangatnya untuk berkarya akhirnya direm oleh kanker prostat. Satu tahun terakhir, Arswendo keluar-masuk rumah sakit sebelum akhirnya pulang untuk melanjutkan pengobatan di rumah.
Pada hari-hari terakhirnya, Arswendo memilih bersama istri, anak, sahabat, dan cucu. Dia memilih berada di tengah keluarga!
Pada 1986, Arswendo menulis dalam novel Canting, ”Manusia hidup menunggu untuk mati. Kehidupan justru terasakan dalam menunggu. Makin bisa menikmati cara menunggu, makin tenang dalam hati.”
Arswendo pun berpulang dengan damai di kediamannya di Jalan Damai, Jakarta. Selamat jalan, Mas Arswendo. Selamat jalan, Senopati….
(RYO/TRA/DIV/BOW)