Tim nasional sepak bola Aljazair menjadi penguasa baru di benua Afrika seusai membekap tim kuat, Senegal, di final Piala Afrika 2019, Sabtu dini hari WIB. Kesuksesan itu tidak terlepas dari sentuhan tangan besi pelatihnya, Djamel Belmadi.
KAIRO, SABTU – Tim nasional sepak bola Aljazair pernah diibaratkan pisau bermata dua. Di tangan yang salah, tim yang pernah memesona publik sejagat pada Piala Dunia Brasil 2014 silam itu cenderung menghancurkan dirinya sendiri. Sebaliknya, di tangan yang tepat, tim itu mampu menyayat lawan-lawan mana pun.
Aljazair, negara asal orangtua Pelatih Real Madrid Zinedine Zidane, menjuarai Piala Afrika 2019 setelah menaklukkan Senegal 1-0 di Kairo, Mesir, Sabtu (20/7/2019) dini hari WIB. Trofi Piala Afrika pertama mereka dalam 29 tahun terakhir itu menandai kebangkitan prestasi tim yang sempat dilanda kekacauan hampir setengah dekade terakhir itu.
Timnas Aljazair sempat dilabeli “gerombolan bengal” alias sulit diatur pada tahun lalu. Nyaris tidak ada pelatih yang kerasan menangani tim asal Afrika utara yang diperkuat sejumlah pemain berbakat seperti Riyad Mahrez (Manchester City), Islam Slimani (Leicester City), dan Ryad Boudebouz (Celta Vigo) itu. Bayangkan saja, dalam dua tahun, tim berjuluk “Rubah Gurun” itu telah lima kali gonta-ganti pelatih.
Masalah di tim ini telah diatasi oleh Belmadi
Tak ayal, meskipun diberkahi para individu dengan kualitas teknik di atas rata-rata pemain Afrika lainnya, prestasi Aljazair sempat tenggelam. Mereka kandas dini di penyisihan grup Piala Afrika Gabon 2017 dan gagal lolos ke Piala Dunia Rusia 2018. Padahal, setengah dekade lalu, tim itu nyaris menyingkirkan Jerman di babak 16 besar Piala Dunia Brasil lewat permainan agresifnya. Jerman harus susah payah mengalahkan Aljazair melalui perpanjangan waktu sebelum akhirnya menjadi kampiun di Piala Dunia edisi itu.
Menurut Lakhdar Belloumi, legenda sepak bola Aljazair, kesuksesan bekas timnya itu tidaklah terlepas dari peranan pelatihnya saat ini, Djamel Belmadi. “Masalah di tim ini telah diatasi oleh Belmadi. Ia tahu bahwa masalah itu adalah terkait (ego) antar-pemain, yaitu siapa yang berhak mengontrol bola, mengambil sepak pojok, dan penalti di tim,” ujarnya mengenai tansformasi timnas Aljazair.
Belmadi memang tidak sepopuler para pendahulunya seperti Vahid Halihodzic, Rabah Madjer, atau Milovan Rajevac yang malang melintang sebagai pelatih. Namun, Belmadi yang asli Aljazair berani mengambil kebijakan tidak populer guna mengajarkan kedisiplinan yang kini menjadi karakter terpenting di tim itu. Sebagai contoh, ia mencoret nama Haris Belkebla, gelandang Aljazair, dari timnya di Piala Afrika 2019 karena perilaku tidak senonoh di sebuah gim daring.
Tanpa koki yang andal, Anda tidak akan punya hidangan yang enak
Menahan diri
Pada laga final kontra Senegal, Belmadi juga meminta para pemainnya untuk menahan diri, tidak bermain eksplosif seperti sebelum-sebelumnya. Ia paham, Senegal memiliki sejumlah penyerang berbahaya seperti Sadio Mane dan Mbaye Niang yang dapat memukul pertahanan timnya lewat serangan cepat, khususnya dari sayap. Tak ayal, Aljazair tampil sangat defensif, terutama setelah mencetak gol lewat tendangan Baghdad Boudjenah yang berbelok arah di menit ke-2.
Gol cepat itu menjadi satu-satunya peluang, bahkan tembakan yang dibuat Aljazair sepanjang laga itu. Mahrez, bintang mereka, bahkan nyaris tidak terlihat dan kerap membantu pertahanan demi tujuan kolektif timnya itu. “Dia (Belmadi) sungguh tahu bagaimana caranya menghadapi pemain. Tanpa koki yang andal, Anda tidak akan punya hidangan yang enak,” ujar Adlene Guedioura, gelandang Aljazair, beranalogi.
Meskipun tampil defensif di final, Aljazair merupakan tim yang paling produktif dan tidak terkalahkan di Piala Afrika 2019. Mereka mengemas total 13 gol dari tujuh laga sejak penyisihan grup. “Ini adalah trofi Piala Afrika pertama kami di negara lain. Sudah lama kami menantikan trofi ini. Rasanya sangat luar biasa, terutama mengingat posisi kami sebelum saya mengambil-alih (jabatan pelatih),” tutur Belmadi.
Penantian Senegal
Adapun bagi Senegal, kekalahan itu kian memperpanjang penantian mereka akan trofi kontinental pertamanya. Meskipun memiliki sejumlah pemain berkualitas seperti Mane yang menjuarai Liga Champions Eropa bersama Liverpool, Senegal belum sekali pun memenangi Piala Afrika. Prestasi tertinggi mereka di turnamen itu adalah sebagai runner-up, yaitu pada tahun ini dan 2002 silam.
“Meskipun belum juara, saya ingin mengucapkan selamat kepada para pemain saya. Secara keseluruhan, kami seharusnya laik menyamakan kedudukan. Namun, itu tidak terjadi. Hasilnya tidak berjalan sesuai yang kami inginkan,” ujar Aliou Cisse, pelatih Senegal yang sibuk menghibur para pemainnya yang patah hati seusai kekalahan tipis itu. (AFP)