Berlayar ke Pasifik Selatan
Beragam tarian, lagu, dan musik tradisional khas negara Pasifik mengiringi pertemuan perwakilan dari 20 negara di Pasifik Selatan. Dalam forum bertajuk ”Eksposisi Pasifik 2019” itu, Indonesia berdiplomasi.
Paruh kedua dasawarsa 1990-an, krisis ekonomi menghajar Kepulauan Cook. Negara yang berada di timur Fiji, dikelilingi negara pulau lain, seperti Samoa Amerika, Tonga, dan Niue, sempat hanya bergantung pada satu sektor semata, yakni sektor pariwisata.
Selain itu, perubahan iklim membuat negara-negara kepulauan tersebut semakin rentan. Apalagi posisi geografis yang jauh terpisah dari negara-negara besar membuat peluang untuk bangkit kian terbatas.
”Lalu acara Eksposisi Pasifik seperti tiba-tiba hadir di depan mata. Acara seperti ini memberikan kesempatan kepada kami secara langsung. Ini kami tunggu-tunggu,” kata Perdana Menteri Kepulauan Cook Henry Puna antusias.
Menurut Puna, aneka tantangan yang dihadapinya selama ini dapat ditanggapi dengan kerja sama. Hal senada ditegaskan oleh PM Niue Toke Talagi. Pemimpin negara berjuluk ”Karang Polinesia”—dihuni kurang dari 2.000 jiwa—saat ini dicemaskan sampah yang mencemari laut.
”Apa atau siapa yang dapat disalahkan? Tidak ada. Lebih baik bagi kita untuk melangkah bersama-sama sebagai penghuni negeri kepulauan,” kata Talagi.
Oleh karena itu, pada 11-14 Juli 2019 saat digelar Eksposisi Pasifik 2019 di Auckland, Selandia Baru, Talagi dan Puna antusias hadir. Dalam eksposisi itu, selain ditampilkan pameran perdagangan, investasi, pariwisata, dan parade budaya, dibahas pula upaya bersama menanggapi tantangan di Pasifik, termasuk isu perubahan iklim.
Bagi Indonesia—yang menginisiasi Eksposisi Pasifik—perhelatan itu merupakan perwujudan niat untuk meningkatkan kehadiran Indonesia di kawasan Pasifik. Di sisi lain, bagi negara-negara Pasifik Selatan, seperti Niue dan Kepulauan Cook, perhelatan itu adalah kesempatan untuk membuka dan mengembangkan aneka potensi dan sumber ekonomi baru. Harapannya, negara-negara di Pasifik dapat mencapai kemakmuran bersama dengan cara- cara yang berkelanjutan.
Selain Kepulauan Cook, Niue, Indonesia, Australia, dan Selandia Baru (selaku tuan rumah), hadir pula perwakilan dari Kaledonia Baru, Mikronesia, Fiji, Polinesia Perancis, Papua Niugini, Timor Leste, Vanuatu, Kiribati, Kepulauan Marshall, Nauru, Palau, Kepulauan Solomon, dan Tuvalu.
Berbagai produk dan peluang investasi serta keelokan setiap negara peserta dipamerkan dalam pameran yang diklaim menjadi pameran paling komprehensif yang pernah diadakan di Pasifik. Dalam kesempatan itu, Indonesia turut mengajak perwakilan dari Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Kehadiran
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengatakan, Eksposisi Pasifik 2019 adalah salah satu bentuk konkret kehadiran Indonesia di kawasan Pasifik. Eksposisi itu merupakan penegasan dari Forum Pertemuan Indonesia-Pasifik Selatan (ISPF) yang digelar Maret lalu di Jakarta.
Uluran tangan bersahabat Indonesia itu disambut positif oleh negara-negara Pasifik tersebut. Respons sebagaimana ditunjukkan Puna dan Talagi adalah contohnya. Sikap terbuka dari setiap pihak memicu aura optimis yang membuka lebih banyak prospek kerja sama.
Dengan dukungan BUMN dan swasta di Eksposisi Pasifik 2019, terbukti bahwa ajakan kerja sama Indonesia itu konkret hasilnya. Nilai transaksi kerja sama bisnis dan perdagangan yang ditandatangani dengan klien dari negara-negara Pasifik selama acara berlangsung mencapai 70,03 juta dollar AS atau sekitar Rp 980,4 miliar.
Pencapaian itu memperkuat kehadiran Indonesia di kawasan Pasifik, yang sebelumnya antara lain ditandai dengan keikutsertaan dalam misi tanggap darurat, bantuan kemanusiaan, serta peningkatan kapasitas nelayan dan perempuan.
Di sisi lain, lewat eksposisi itu, negara-negara Pasifik pun semakin mengenal dan memahami Indonesia yang adalah bagian dari Pasifik. ”Kerja sama yang kita usung itu konkret. Kita hadir menjadi bagian dari solusi,” kata Retno.
Memperkuat NKRI
Pada saat bersamaan, kehadiran secara langsung di Pasifik dapat dilihat sebagai bagian dari upaya memperkuat dukungan pada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak dapat dimungkiri, di beberapa forum internasional, di antaranya Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejumlah negara Pasifik beberapa kali melontarkan kritik terkait isu pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Perhatian sejumlah negara Pasifik atas isu Papua tersebut seiring dengan kian gencarnya kampanye gerakan Papua di kancah internasional.
Alih-alih menanggapi secara frontal, Indonesia memilih untuk membuka diri. Kepada mitra di Pasifik, Indonesia menunjukkan ada begitu banyak warga serumpun—Melanesia dan Polinesia—tinggal di lima provinsi di Indonesia, yaitu Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan NTT. Jumlahnya mencapai sekitar 13 juta orang. Beberapa kali Jakarta menggelar kunjungan ke Pasifik sembari mengajak gubernur dari beberapa provinsi tersebut.
Di Pasifik, diplomasi lunak Indonesia itu secara perlahan tetapi pasti mendapatkan simpati. Kehadiran sejumlah perwakilan dari 20 negara di Pasifik, termasuk Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne dan sejumlah perdana menteri dari negara-negara di Pasifik, menandai pencapaian tersebut.
Meski masih dini, Eksposisi Pasifik di Auckland dapat menjadi batu penjuru bagi langkah diplomasi Indonesia di belahan selatan Nusantara. Tentu ada harapan bahwa langkah tersebut makin diperkuat dan mencapai aras sebagaimana jejak diplomasi dan pencapaian Indonesia di belahan utara Nusantara lewat ASEAN dan EAS yang menempatkan kawasan itu sebagai salah satu pusat pertumbuhan global.
Tantangan yang ada adalah memperkuat terus-menerus sikap saling percaya, inklusif, dan mengedepankan kerja sama. Pada saat relasi sosial semakin kuat, tanpa harus melulu bicara soal keamanan dan politik, dukungan pun semakin kuat bagi Indonesia.