Jika dibandingkan dengan masa sebelum Reformasi 1998, dalam 20 tahun terakhir, jumlah daerah otonom di negeri ini bertambah sangat pesat.
Oleh
·3 menit baca
Jika dibandingkan dengan masa sebelum Reformasi 1998, dalam 20 tahun terakhir, jumlah daerah otonom di negeri ini bertambah sangat pesat.
Pemekaran daerah semula dipayungi dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah, yang beberapa kali diubah, dan kini yang berlaku adalah UU No 23/2014. Pada akhir pemerintahan Orde Baru, daerah otonom berjumlah 297 kabupaten/kota di 27 provinsi. Tahun 1999 hingga 2014, ketika dilakukan moratorium pemekaran daerah, terlahir 215 daerah otonom baru. Indonesia kini terdiri dari 514 kota dan kabupaten di 34 provinsi.
Saat DPR dan pemerintah masih akan memekarkan daerah, awal 2014, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menegaskan, sekitar 70 persen daerah baru, yang terbentuk tahun 1999-2009, gagal mandiri. Daerah otonom baru itu masih bergantung pada daerah induk atau pusat.
Harian ini, Sabtu (20/7/2019), melaporkan, sesuai dengan data KPPOD, kesejahteraan masyarakat dan percepatan pembangunan di 18 daerah otonom baru, dibentuk sejak 2012, belum memuaskan. Tak ada evaluasi yang komprehensif membuat daerah otonom baru belum berkembang optimal. Sebagian terancam gagal.
Daerah otonom baru yang belum berkembang itu tak hanya di tingkat kabupaten, tetapi juga di tingkat provinsi. Menurut Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng, selama moratorium pemekaran daerah diberlakukan, pada awal pemerintahan Joko Widodo-M Jusuf Kalla, tak ada evaluasi menyeluruh terhadap daerah tersebut. Padahal, evaluasi komprehensif itu penting untuk mencari solusi agar daerah baru itu tidak gagal berkembang (Kompas, 20/7/2019).
Pada masa sebelumnya, setelah ada pemekaran daerah baru sejak 1999, pemerintah melakukan evaluasi dan menemukan sejumlah daerah yang belum berkembang, bahkan gagal berkembang. Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina daerah otonom pun mengancam akan menggabungkan kembali daerah otonom baru yang gagal itu ke daerah induknya.
Namun, dalam catatan Kompas, belum pernah ada daerah otonom baru yang dikembalikan, atau digabungkan kembali, dengan daerah induknya. Penggabungan daerah memerlukan persetujuan DPR, dan situasi politiknya tak mudah karena kini daerah itu sudah memiliki kepala daerah, DPRD, dan aparat sendiri.
Jika menengok ke masa lalu, tak sedikit daerah otonom baru dibentuk bukanlah demi kepentingan rakyat. Daerah otonom baru lahir tidak untuk memendekkan rentang layanan publik dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi sebab desakan elite politik. Pembentukan daerah otonom baru pun terkadang untuk meredam pertentangan antarwarga di daerah induk.
Belajar dari pengalaman dan penilaian atas daerah otonom baru sebelumnya, moratorium pembentukan daerah otonom sebaiknya dilanjutkan. Evaluasi menyeluruh atas daerah baru perlu segera dilakukan. Hasil evaluasi itu diumumkan terbuka kepada publik sehingga ada penilaian dari rakyat pula.
Jika ada daerah yang berpotensi gagal, penggabungan kembali bisa dilakukan. Tidak perlu memelihara daerah yang gagal karena akan merugikan rakyat dan menurunkan daya tahan bangsa.