Korut Tuding Jepang Ganggu Perdamaian di Semenanjung Korea
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
PYONGYANG, SENIN - Korea Utara menuding Jepang mengganggu perdamaian di Semenanjung Korea. Tudingan ini muncul setelah perseteruan antara Jepang dan Korea Selatan meruncing mengenai kewajiban pemberian kompensasi oleh perusahaan Jepang kepada pekerja paksa asal Korea Selatan di masa Perang Dunia II.
KCNA menyatakan, langkah Jepang untuk menekan Korea Selatan melalui pengetatan ekspor mengganggu perdamaian. Sejak awal Juli 2019, Tokyo mewajibkan eksportir material penting untuk perangkat elektronik mengajukan izin setiap akan mengirim barang ke Korsel.
Kebijakan tersebut dituding muncul sebagai pembalasan atas putusan Mahkamah Agung Korsel pada 2018 yang memerintahkan dua perusahaan Jepang memberi kompensasi kepada para pekerja pada masa perang. Keputusan itu dinilai tidak adil oleh Tokyo.
Menurut Jepang, permasalahan yang terjadi antara kedua negara di masa Perang Dunia II telah diselesaikan melalui perjanjian yang dibuat pada 1965. Tokyo sedang mempertimbangkan untuk membawa masalah ini ke Pengadilan Internasional.
“Kerusakan manusia, fisik, dan emosional yang ditimbulkan Jepang kepada rakyat Korea selama masa penjajahannya tidak dapat dikompensasi, bahkan jika seluruh bangsa Jepang mengorbankan dirinya sendiri,” demikian tulis KCNA.
Tudingan negatif Korut terhadap Jepang ini juga muncul setelah seorang pejabat tinggi Korsel mengatakan sedang mempertimbangkan semua opsi terhadap nasib GSOMIA akibat memanasnya hubungan Jepang dan Korsel. GSOMIA merupakan sebuah pakta yang memungkinkan Seoul dan Tokyo untuk berbagi informasi intelijen mengenai Korea Utara.
Berpihak ke Korsel
Laporan KCNA menunjukkan dengan jelas Korut berpihak kepada Korsel. Hal ini dilakukan Korut meskipun negara tersebut kerap mengimbau Korsel untuk tidak terlibat dalam pembicaraan terkait program nuklir antara Pyongyang dan Washington.
Korut sejak lama menunjukkan ketidaksukaan terhadap Jepang. Selain karena sejarah penjajahan, Jepang turut mendorong pembicaraan nuklir antara Korut dan AS dan menuding Korut menculik sejumlah penduduk Jepang.
Kerusakan manusia, fisik, dan emosional yang ditimbulkan Jepang kepada rakyat Korea selama masa penjajahannya tidak dapat dikompensasi, bahkan jika seluruh bangsa Jepang mengorbankan dirinya sendiri
Selama beberapa tahun terakhir, Korut menunjukkan sedikit minat untuk terlibat dengan Jepang. Pemimpin Korut Kim Jong Un baru bertemu dengan Presiden AS Donald Trump, Presiden China Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Korsel Moon Jae In untuk membahas denuklirisasi di Semenanjung Korea. Sedangkan Jepang merupakan negara tetangga Korsel.
Situasi memanas
Situasi semakin memanas akibat perseteruan antara Jepang dan Korsel. Kepolisian Korsel menyatakan telah menahan enam orang yang diduga memasuki sebuah gedung konsulat Jepang di Busan, Korsel secara ilegal pada Senin (22/7/2019). Pekan lalu, seorang warga Korsel bermarga Kim (78) membakar diri di dekat Kedutaan Jepang di Seoul.
Terkait penahanan enam orang, media asal Korsel bernama Yonhap melaporkan, mereka sedang memegang plakat dan meneriakkan kritik atas keputusan Jepang untuk memperketat kontrol ekspornya.
Sebelumnya, Presiden Korsel Moon Jae In mengatakan, kebijakan Jepang memiliki motif bermuatan politis. Kebijakan tersebut akan memengaruhi perekonomian Korsel yang sangat bergantung pada ekspor, khususnya ekspor barang elektronik.
Menteri Industri Jepang Hiroshige Seko telah membantah keputusan Jepang untuk membatasi ekspor material, seperti fluorinated polyimide, photoresist, dan high purity hydrogen fluoride, sebagai bentuk pembalasan Jepang kepada Korsel mengenai masalah kompensasi pekerja paksa.
Jepang menyatakan kebijakan itu diambil berdasarkan penilaian bahwa Korsel gagal untuk mengontrol barang-barang ekspor dari Jepang. Tokyo menduga komoditas ekspor untuk teknologi tinggi yang telah dikirim ke Korsel kemudian disalurkan ke Korea Utara. (AFP/AP)