Sepekan terakhir, wajah sebagian media nasional di Indonesia dihiasi foto dan juga pemberitaan tentang pencari suaka dan pengungsi yang menginap di sepenggal kaki lima, Jalan Kebun Sirih, Jakarta. Tepatnya di kaki lima depan Menara Ravindo, tempat Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi perwakilan Indonesia berkantor.
Mereka adalah sebagian dari wajah pencari suaka, pengungsi, dan mereka yang saat ini terpaksa meninggalkan rumah karena konflik, persekusi, atau pertikaian politik. Jumlah totalnya—kurang lebih menurut catatan UNHCR—mencapai lebih dari 70 juta orang.
Dalam perjalanan menuju negara yang mereka yakini aman dan memberi jaminan kehidupan yang lebih layak, sebagian dari mereka justru menjadi korban jaringan penyelundupan dan perdagangan manusia. Uang mereka dikuras, dan nasib mereka tak jelas.
Pada saat bersamaan, berita tentang maraknya pengantin pesanan turut menyita perhatian publik. Sebagian dari mereka dikirim ke China. Terkait hal ini, Kementerian Luar Negeri dikabarkan telah menjalin komunikasi intensif dengan perwakilan China di Indonesia untuk mengatasi persoalan yang mulai marak sejak tahun 2017 itu.
Sebagaimana umumnya kasus perdagangan dan penyelundupan manusia, jejaring yang menggasak pengungsi, pengantin pesanan, juga—dalam kasus lain—pekerja migran, pada umumnya melibatkan orang dekat atau kenalan korban. Menurut seorang diplomat yang dekat dengan isu perdagangan orang, pelaku atau jejaring kejahatan transnasional juga melibatkan oknum aparat.
Hal itu mengindikasikan dengan kuat, korupsi—dalam hal ini penyalahgunaan wewenang—menjadi celah yang memungkinkan perdagangan manusia terjadi.
Praktik itu menunjukkan bahwa isu perdagangan dan penyelundupan manusia membutuhkan penyelesaian yang simultan dan komprehensif. Jejaring advokasi buruh migran, lembaga kemanusiaan, dan pemerintah telah mengampanyekan cara bepergian secara aman. Namun, tidak dapat disangkal, imbauan atau kampanye itu belum mampu menjamin perkara serupa tidak terulang.
Ada faktor-faktor lain yang turut membuat seseorang terpaksa mengabaikan langkah-langkah atau prosedur bermigrasi secara aman. Faktor-faktor itu adalah sebab-sebab asali yang memaksa seseorang bermigrasi. Sebab-sebab asali itu adalah kemiskinan, persekusi, dan konflik, persis seperti apa yang memicu lebih dari 70 juta warga dunia menjadi pencari suaka atau mengungsi.
Jalinan ”rantai kematian” para korban itu tentu harus diputus. Pembicaraan damai, pemberantasan korupsi, dan peningkatan kinerja ekonomi mutlak dilakukan. Jejaring atau komplotan penyelundup manusia—mungkin—sejatinya hanya memanfaatkan ”faktor” utama pemicu migrasi secara paksa itu.
Karena itu, menarik mencecapi pernyataan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi saat membuka pameran foto ”Menabur Benih Perdamaian” awal Mei lalu di New York: bahwa perdamaian tidak hanya ditandai dengan tidak adanya perang, tetapi juga situasi di mana demokrasi dan hak asasi manusia diwujudkan.