JAKARTA, KOMPAS - Sidang permohonan praperadilan yang diajukan tersangka dugaan makar dan kepemilikan senjata api ilegal, Kivlan Zen digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (22/7/2019). Dalam sidang tersebut, pihak pemohon dalam petitumnya menyebut bahwa penangkapan hingga penetapan tersangka Kivlan Zein oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya tidak sah dan melanggar hukum.
Sidang dengan agenda pembacaan gugatan dari pemohon ini dipimpin oleh hakim tunggal Achmad Guntur. Sidang juga dihadiri oleh pihak pemohon yang diwakili Kuasa Hukum Tonin Tachta dan pihak termohon dari bidang hukum Polda Metro Jaya.
Dalam sidang tersebut, pihak pemohon membacakan 12 petitum, salah satu di antaranya yakni menyatakan bahwa penangkapan Kivlan Zein di Mabes Polri pada 29 Mei 2019 tidak sah. Hal ini karena Polda Metro Jaya dalam melakukan penangkapan dengan menggunakan senjata tidak pernah menunjukkan surat perintah penangkapan dan surat tugas sebagaimana ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Selain itu, menurut Tonin, pemohon hanya dapat dilakukan penangkapan jika tidak hadir setelah dilakukan pemanggilan secara layak yang dibuktikan adanya surat panggilan sebagai tersangka.
"Menyatakan termohon praperadilan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam penangkapan, penahanan, penyitaan, penetapan status tersangka. Sehingga perlu merehabilitas nama baik dan kedudukan pemohon praperadilan ke keadaan semula," ujar Tonin saat membacakan petitum.
Setelah membacakan semua gugatannya, hakim Achmad Guntur kemudian mempersilakan pihak termohon untuk menyampaikan jawaban pada sidang berikutnya yang akan digelar besok, Selasa (23/7/2019).
Gugatan praperadilan yang dilayangkan Kivlan Zen diterima PN Jaksel dengan nomor register 75/Pid.Pra/2019/PN.JKT.SEL. Sidang praperadilan kasus Kivlan Zen ini sedianya diselenggarakan pada Senin (8/7/2019) lalu. Namun, saat itu pihak termohon tidak hadir. Hakim Achmad Guntur kemudian menunda sidang menjadi hari ini.
Sebelumnya, Kivlan yang merupakan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat dilaporkan terkait dua hal, yakni tindak pidana makar dan kepemilikan senjata api ilegal. Kedua kasus yang melibatkan Kivlan berangkat dari kerusuhan 21-22 Mei 2019.
Kivlan diduga melanggar Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah Ordonantie Tijdelijke Byzondere Straftbepalingen. Ayat tersebut berbunyi, siapa pun menguasai senjata api, amunisi, atau bahan peledak secara ilegal dihukum dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara maksimal dua puluh tahun.
Bantuan hukum
Selama proses praperadilan sampai ada keputusan yang bersifat inkrah, Kivlan mendapat bantuan hukum dari TNI. Bantuan ini diberikan menyusul adanya pengajuan surat permohonan dari Tim Hukim Kivlan Zein kepada Panglima TNI Hadi Tjahjanto.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Sisriadi mengatakan, bantuan hukum tersebut merupakan hak bagi seluruh anggota keluarga besar TNI termasuk purnawirawan. Hal itu juga diatur dalam Petunjuk Teknis tentang Bantuan Hukum Pidana yang diatur dalam Keputusan Panglima TNI nomor Kep/1447/XII/2018.
Meski demikian, Sisriadi menegaskan bahwa Mabes TNI hanya dapat memberikan bantuan hukum dalam kasus Kivlan tanpa penjaminan penangguhan penahanan. Keputusan ini diberikan setelah Mabes TNI berkoordinasi dengan kementerian-kementerian di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Kepala Bidang Hukum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Victor Theodorus Sihombing menyatakan bahwa bantuan hukum tersebut merupakan hak dari pemohon. Dia pun menegaskan akan tetap menjalani proses peradilan ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku.