Permintaan Air Bersih akibat Kekeringan di Ponorogo Meningkat
Permintaan bantuan air bersih dari masyarakat di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, terus meningkat seiring dengan semakin lamanya musim kemarau. Mengantisipasi meningkatnya permintaan tersebut, pemerintah daerah menaikkan alokasi anggaran untuk program bantuan air bersih.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
PONOROGO, KOMPAS — Permintaan bantuan air bersih di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, terus meningkat seiring dengan panjangnya musim kemarau. Mengantisipasi peningkatan itu, pemerintah daerah menaikkan alokasi anggaran untuk program bantuan air bersih.
Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ponorogo Setyo Budiono mengatakan, ada empat desa yang mengajukan permintaan bantuan air bersih untuk memenuhi kebutuhan harian warganya. Sebelumnya, masih tiga desa yang meminta, itu pun yang rutin mendapatkan air bersih hanya satu desa.
”Empat desa itu adalah Desa Duri dan Desa Caluk di Kecamatan Slahung; Desa Gabel, Kecamatan Kauman; serta Desa Pandak, Kecamatan Balong,” ujar Budi, Senin (22/7/2019).
Permintaan air bersih dari Desa Duri terus bertambah. Jika awalnya cukup dua tangki per hari, kini menjadi tiga tangki per hari. Kapasitas per tangki mencapai 8.000 liter. Di desa itu ada 200 jiwa atau 60 keluarga yang mengalami krisis air bersih karena sumber air mengering.
Budi mengatakan, pihaknya sudah membangun dua sumur masing-masing sedalam 100 meter dan 90 meter. Namun, kondisi sumur itu mulai kering. Bahkan, untuk mendapatkan 20 liter air, butuh waktu 1-1,5 jam. Bahkan, setelah airnya diambil, sumur langsung kering dan harus menunggu lebih lama untuk bisa diambil lagi.
Tambah anggaran
Berdasarkan hasil pemetaan BPBD Kabupaten Ponorogo, terdapat 10 kecamatan, 26 desa, dan 28 dusun yang berpotensi rawan kekeringan. Daerah rawan kekeringan itu ada di Kecamatan Slahung, Mlarak, Sampung, Pulung, Badegan, Balong, Bungkal, Sawoo, Jenangan, dan Kauman.
Jumlah daerah rawan kekeringan itu meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya tujuh kecamatan. Sejumlah desa yang sebelumnya tidak mengalami bencana kekeringan tahun ini masuk zona rawan karena kemarau yang berlangsung lama.
Adapun masyarakat yang berpotensi terdampak kekeringan jumlahnya mencapai 7.863 jiwa atau 2.234 rumah tangga. Mereka memerlukan air bersih untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti minum, memasak, mandi, dan mencuci. Warga juga memerlukan air bersih untuk kebutuhan air minum ternak mereka.
Mengantisipasi meningkatnya daerah rawan kekeringan, BPBD Ponorogo menambah anggaran untuk bantuan air bersih yang akan didistribusikan kepada masyarakat.
Mengantisipasi meningkatnya daerah rawan kekeringan, BPBD Ponorogo menambah anggaran untuk bantuan air bersih yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Apabila pada APBD 2019 murni hanya dianggarkan Rp 40 juta, saat ini diusulkan melalui APBD Perubahan menjadi Rp 100 juta.
Penambahan anggaran tersebut berkaca pada kebutuhan tahun lalu. Kala itu, Pemerintah Kabupaten Ponorogo hanya menganggarkan Rp 35 juta sehingga pada akhirnya harus meminta bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan nilai Rp 70 juta. Dana itu pun masih kurang sehingga harus meminjam pada Perusahaan Daerah Air Minum Ponorogo.
Upaya atasi krisis
Kekeringan yang berujung pada krisis air bersih di Kabupaten Ponorogo terjadi setiap tahun. Pemerintah pun sudah berupaya mencegah krisis berulang, antara lain, dengan membangun sumur dalam. Selain itu, pemerintah desa juga berinisiatif membangun sumur sendiri dengan dana desa.
Contohnya, di Desa Dayakan, Kecamatan Badegan. Pemerintah desa membangun lima sumur dalam, tetapi kondisinya belum berfungsi maksimal. Salah satu penyebabnya, diperlukan pemasangan jaringan pipa ke rumah-rumah warga. Namun, pembangunan sumur itu setidaknya telah mengurangi tingkat keparahan krisis air.
”Tahun lalu, Desa Dayakan pada musim kemarau seperti ini sudah meminta bantuan air bersih. Sekarang, warga masih menggunakan sumur meskipun produksi airnya terbatas,” ucap Budi.
Selain Dayakan, desa yang sudah membangun sumur dalam antara lain Desa Suren, Kecamatan Mlarak; Desa Mrican, Kecamatan Jenangan; dan Desa Kambeng, Kecamatan Slahung. Pembangunan sumur dalam itu diharapkan mampu menjadi tumpuan warga dalam memenuhi kebutuhan air bersih.
Menurut Budi, tidak semua daerah yang rawan kekeringan di wilayahnya bisa dibangun sumur dalam. Pada daerah perbukitan berbatu, pembangunan sumur dalam sulit dilakukan. Jalan keluarnya hanya menghidupkan kembali sumber mata air melalui reboisasi atau pemulihan kawasan hutan, baik yang dikelola oleh Perhutani maupun hutan rakyat.
Kepala Desa Duri Dwi Mahmudin mengatakan, kebutuhan air bersih rata-rata 70 liter per orang. Air itu pun hanya untuk minum dan memasak. Untuk kebutuhan mandi, cuci, dan buang air besar, warga harus mencari sumber lain, seperti di hutan dan sungai.