Sebanyak 75 kabupaten dan kota dari tujuh provinsi dilaporkan terdampak kekeringan sepanjang 2019. Dari semua wilayah ini, pemerintah daerah di 55 wilayah menyatakan siaga darurat. Pemerintah menyiapkan penanganan menggunakan teknologi modifikasi cuaca.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 75 kabupaten dan kota dari tujuh provinsi dilaporkan terdampak kekeringan sepanjang 2019. Dari semua wilayah ini, pemerintah daerah di 55 wilayah menyatakan siaga darurat. Pemerintah menyiapkan penanganan menggunakan teknologi modifikasi cuaca.
Pelaksana Harian Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menyatakan, jumlah daerah terdampak kekeringan hingga Juli 2019 relatif tinggi. Padahal, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak kemarau masih akan terjadi pada Agustus hingga September.
”Bahkan kemungkinan bisa sampai November. Sementara ini sudah ada tujuh provinsi dan 75 kabupaten/kota yang terdampak kekeringan dan masih mungkin bertambah,” ujarnya di Jakarta, Senin (22/7/2019).
Wilayah-wilayah yang sudah melaporkan kekeringan itu antara lain Jawa Barat sebanyak 16 kabupaten, Jawa Tengah (21 kabupaten), Jawa Timur (10 kabupaten), DI Yogyakarta (2 kabupaten), Bali (2 kabupaten), Nusa Tenggara Barat (9 kabupaten), dan Nusa Tenggara Timur (15 kabupaten).
Adapun beberapa wilayah di atas saat ini juga sudah menetapkan status siaga darurat bencana kekeringan. Jumlahnya tidak kurang dari 55 kabupaten dan kota. Rinciannya, Jawa Timur sebanyak 25 kabupaten, Jawa Tengah (12 kabupaten), DI Yogyakarta (3 kabupaten), Jawa Barat (5 kabupaten), Nusa Tenggara Timur (6 kabupaten), Nusa Tenggara Barat (3 kabupaten), dan Banten (1 kabupaten).
”Di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat hampir semua wilayahnya sudah mengalami kekeringan. Di Bali sementara belum menyatakan siaga darurat,” kata Agus.
Dalam menangani kekeringan tersebut, pemerintah saat ini akan menerapkan strategi modifikasi cuaca atau membuat hujan buatan. Ada dua posko yang akan disiapkan untuk proses modifikasi cuaca tersebut, yakni di Jakarta untuk wilayah Jawa dan Kupang untuk Nusa Tenggara dan Bali.
”Dua pesawat akan disiagakan di dua daerah tersebut untuk melakukan penyemaian jika terdapat potensi awan. BMKG akan memonitor cuaca,” ujarnya.
Menurut Agus, wilayah-wilayah yang menjadi fokus utama penanganan adalah wilayah pertanian. Sebab, ditaksir akan ada kerugian sebesar Rp 3 triliun jika wilayah pertanian tersebut mengalami gagal panen akibat kekeringan. ”Jika sampai kita tidak bisa panen padi atau bahan pangan lain, terpaksa akan dilakukan impor. Kita fokus menjaga kestabilan bahan pangan,” katanya.
Penanganan dengan modifikasi cuaca tersebut pada tahap pertama akan dilakukan secara intensif selama Juli hingga September 2019. Adapun dana operasi tersebut akan menggunakan dana siap pakai dari BNPB. Jumlahnya akan menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan.
”Saat ini, pemerintah berupaya mencegah sebelum bencana yang lebih parah terjadi karena biayanya lebih murah,” ucap Agus.
Sementara itu, BMKG memprediksi untuk tujuh hari ke depan potensi hujan masih rendah di wilayah Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Pertumbuhan awan dan potensi hujan masih fokus di Sumatera bagian utara, Kalimantan Timur dan Utara, Maluku Utara, Maluku, dan Papua.
”Hampir seluruh Jawa, NTT, dan NTB sudah mengalami hari tanpa hujan selama lebih dari 60 hari. Sumba Timur menjadi yang terparah dengan 126 hari tanpa hujan,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab.