Sengketa Foto Rekayasa Berlanjut ke Tahap Pembuktian
Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan kasus foto rekayasa calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nusa Tenggara Barat, Evi Apita Maya dilanjutkan ke tahap pembuktian. Kasus ini disidangkan atas pengajuan calon anggota DPD dari NTB Farouk Muhammad.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan kasus foto rekayasa calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nusa Tenggara Barat (NTB), Evi Apita Maya dilanjutkan ke tahap pembuktian. Kasus ini disidangkan atas pengajuan calon anggota DPD dari NTB Farouk Muhammad.
Farouk menggugat perolehan suara Evi karena diduga telah memanipulasi pemilih dengan memasang foto rekayasa. Menurut Farouk, foto yang digunakan semasa kampanye dan dilampirkan saat pendaftaran calon anggota DPD itu bersifat manipulatif. Langkah itu dilakukan dengan sengaja membuat tampilan wajahnya menjadi lebih cantik dan menarik sebagai modus untuk mendulang suara.
Juru Bicara MK sekaligus Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membenarkan, perkara foto rekayasa yang diajukan Farouk berlanjut ke tahap pemeriksaan pembuktian. Akan tetapi, bukan dalil rekayasa foto tersebut yang menguatkan gugatan tersebut. “Ada hitung-hitungan lain yang berkaitan dengan hasil penghitungan suara yang menyebabkan perkara itu dilanjutkan, bukan karena foto rekayasa itu,” ujar Palguna.
Farouk mengajukan perihal foto yang diduga rekayasa sebagai salah satu dalil tuntutan. Dalam permohonannya, ia juga menggugat penggelembungan suara yang dilakukan sejumlah calon anggota DPD di tingkat desa, termasuk Evi. Penggelembungan itu dilakukan panitia pemilihan kecamatan (PPK) setelah pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS).
Berdasarkan hasil rekapitulasi suara Pemilu 2019, Farouk tidak ditetapkan sebagai anggota DPD RI karena hanya meraih 188.687 suara. Ia kalah dari Evi yang meraih suara terbanyak, yaitu 283.932 suara.
Sebelum penghitungan di PPK kabupaten Lombok Tengah, PPK menawarkan penambahan suara dengan biaya minimal Rp 15 juta untuk 10.000 suara. Suara tambahan tersebut nantinya disebar pada tingkat PPS dan PPK di sejumlah kecamatan yang bisa diajak bekerja sama.
Jasa penggelembungan suara itu pun ditawarkan kepada calon anggota DPD lainnya, termasuk Farouk. Namun, ia menolak tawaran tersebut.
Dalam penghitungan dan rekapitulasi suara, saksi di TPS juga kesulitan untuk mendapatkan form C1. Kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dan PPK pun tidak menyembunyikan sejumlah form yang semestinya diketahui saksi. Kemudian, saksi juga dipaksa untuk menandatangani hasil penghitungan suara meski masih mengajukan keberatan.
Selain terjadi pada pemilihan anggota DPD, persoalan serupa juga terjadi pada pemilihan anggota DPRD. Permasalahan itu berujung pada rekomendasi Bawaslu Provinsi NTB Nomor 46/K.NB/HK.01.00/V/2019/ tanggal 12 Mei 2019. Rekomendasi itu meminta KPU NTB memerintahkan KPU Kabupaten Lombok Tengah untuk menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Kabupaten Lombok Tengah yang belum diselesaikan saat pleno rekapitulasi suara di tingkat kabupaten.
Selain itu, Farouk dalam permohonannya juga melampirkan perbandingan perolehan suara yang ada pada form C1 dan form DAA1 pada tingkat desa di Kabupaten Lombok Tengah. Dari perbandingan tersebut, terlihat bahwa Evi memperoleh tambahan sebanyak 738 suara.
Seusai persidangan, Evi mengatakan, akan menghormati dan taat pada putusan hakim konstitusi. Pihaknya pun siap untuk menghadapi sidang pemeriksaan pembuktian atas gugatan terhadap dirinya. Pihaknya menyiapkan enam kuasa hukum serta sejumlah saksi dan ahli untuk membela diri.
Desmihardi, kuasa hukum Evi, mengatakan, sengketa yang diajukan Farouk semestinya masuk dalam ranah pelanggaran administratif yang tidak perlu dibawa ke MK karena merupakan kewenangan Bawaslu.
Kasus ini menjadi salah satu dari 122 perkara yang dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pembuktian. Pada saat yang sama hakim memutuskan 58 perkara dihentikan dan 80 perkara menunggu putusan akhir.
Putusan sela dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Sidang pembacaan putusan yang terbagi dalam tiga sesi itu dihadiri delapan hakim konstitusi lainnya, yaitu Aswanto, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams. Pada sidang itu juga dihadiri semua pemohon yang perkaranya diregistrasi, pihak terkait, dan perwakilan pihak termohon yakni Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.