Vonis MA Bukan Soal Menang atau Kalah
JAKARTA, KOMPAS — Vonis Mahkamah Agung yang menolak kasasi Presiden dan tergugat lainnya terkait kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah 2015 agar tak dipandang soal menang dan kalah. Presiden dan jajarannya agar memandang vonis tersebut sebagai kemenangan bersama seluruh warga negara untuk bersama-sama menjalankan pencegahan perulangan kebakaran hutan dan lahan serta memberikan kualitas lingkungan hidup yang baik bagi warganya.
Gugatan warga negara (citizen law suit) tersebut dilayangkan pada tahun 2016 sebagai buntut kebakaran hutan dan lahan hebat di tahun 2015. Saat itu, Kalimantan Tengah menjadi satu dari tujuh provinsi yang mengalami kebakaran lahan yang hebat.
Seluruh tahapan gugatan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan terakhir Mahkamah Agung mengabulkan permohonan penggugat. Hanya satu gugatan yang tak dikabulkan pengadilan yaitu tuntutan agar Presiden meminta maaf kepada warganya atas kebakaran hutan dan lahan.
“Kalau dilihat putusan PN sampai MA sebenarnya memang pemerintah melawan hukum karena tidak menjalankan kewajiban yang telah dimandatkan UU. Tapi ini bukan soal menang atau kalah, substansi vonis MA ini agar Presiden dan jajarannya menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan,” kata Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Minggu (21/7/2019), di Jakarta.
Substansi vonis MA ini agar Presiden dan jajarannya menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan
Ia pun sepakat bahwa putusan MA ini merupakan kemenangan warga dan pemerintah untuk bersama-sama menjalankan undang-undang. Dipandang sisi positif, melalui putusan ini, bisa menguatkan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Gugatan tersebut antara lain meminta tergugat untuk menerbitkan sejumlah peraturan pemerintah yang diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dari amanat tujuh PP yang berelasi kebakaran hutan dan lahan yang diamanatkan, pemerintah baru menerbitkan PP Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Amanat PP yang lain, seperti PP tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, baku mutu lingkungan, yang meliputi baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan PP kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan, hingga kini belum ditetapkan.
Karena itu, menurut ICEL, tuntutan warga negara tersebut dinilai tak berlebihan. Bahkan di sisi lain, apabila pemerintah melengkapi PP akan membantu pemerintah sendiri dalam mengelola lingkungan serta menegakkan hukum atas kasus-kasus lingkungan hidup, terutama kebakaran hutan dan lahan.
Peninjauan kembali
Raynaldo kembali menekankan bahwa substansi putusan MA ini merupakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Apalagi, pemerintah saat ini, saat terjadi kebakaran hutan dan lahan 2015 merupakan rezim yang baru berkuasa selama setahun.
Karena itu, publik pun mahfum apabila masih terdapat kekurangan dan pemerintah tinggal melanjutkan kebijakan yang disebut corrective action terkait pencegahan kebakaran hutan dan lahan. “Lupakan kalah-menang, mari perbaiki lingkungan. Akan memalukan sekali kalau (mengajukan) PK (peninjauan kembali) karena bisa dibaca sebagai tidak ada keinginan menjalankan amanat undang-undang,” kata dia.
Di sisi lain, ia pun memandang bahwa langkah PK tak bisa menunda eksekusi. Raynaldo meminta pemerintah menunjukkan contoh eksekusi putusan hukum lingkungan yang bisa dijalankan sendiri. Selama ini, pemerintah khususnya Ditjen Penegakan Hukum KLHK selalu beralasan tak bisa mengeksekusi putusan perdata pengadilan karena membutuhkan eksekusi dari pengadilan.
“Nah ini sekarang putusan MA eksekusinya ada di pemerintah sendiri. Silakan dijalankan,” kata dia.
Riesqi Rahmadiansyah, kuasa hukum para penggugat, mengatakan seiring proses hukum gugatan berjalan dari PN ke Mahkamah Agung, pemerintah telah menjalankan beberapa tuntutan warga negara yang diajukan ke pengadilan. “Terdapat 26 poin tuntutan dimana 15,4 persen yang (relatif) telah terpenuhi,” kata dia.
Tuntutan yang kini telah dijalankan pemerintah, dengan berbagai kekurangannya tersebut, yakni penetapan PP Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, pembuatan peta kerawanan kebakaran hutan, lahan, dan perkebunan di wilayah Kalimantan Tengah, penyediaan peralatan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan kawasan lindung seperti diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Penggugat memberi catatan peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan BNPB dan BMKG belum tersosialisasi dengan baik dan belum memasukkan aspek sosial-ekonomi masyarakat, serta perda perlindungan kawasan lindung belum ada namun telah ditetapkan SK Men LHK Nomor SK.130/MenLHK/Sekjen/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta fungsi Ekosistem Gambut Nasional.
Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan BNPB dan BMKG belum tersosialisasi dengan baik dan belum memasukkan aspek sosial-ekonomi masyarakat
Perubahan
Dalam siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 20 Juli 2019, menanggapi vonis Mahkamah Agung ini, Menteri LHK Siti Nurbaya menyatakan menghormati putusan hukum ini. Demikian pula dengan langkah PK yang akan dilakukan, menurutnya juga merupakan upaya mempertegas kembali bahwa pemerintah sudah melakukan banyak perubahan menangani kebakaran hutan dan lahan pasca kejadian 2015.
Ia menjelaskan kebakaran hutan dan lahan 2015 yang menghanguskan 2,6 juta ha lahan dan hutan itu terjadi kurang dari setahun awal masa jabatan Presiden Joko Widodo. “Waktu baru menjabat, Presiden dan kita semua sebenarnya sudah mengikuti gerak hotspot atau titik apinya dengan turun ke lapangan. Tapi sayangnya memang tidak tertolong, titik api sudah membesar di 2015. Karena baru menjabat, tentu kami semua harus pelajari penyebabnya, ada apa nih begini? Kenapa? Di mana letak salahnya? Ternyata banyak yang salah-salah dari yang dulu-dulu, dan Pak Jokowi justru membenahi yang salah-salah itu,” jelas Menteri Siti Nurbaya.
Diungkapkan Menteri Siti, kebakaran hutan dan lahan dulunya ternyata disebabkan persoalan berlapis di tingkat tapak. Mulai dari lemahnya regulasi, sampai pada oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka yang terjadi sejak lama.
Untuk membenahi karut-marut pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Inpres 8/2018 tentang Moratorium Izin, PP 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, hingga pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Sementara di KLHK, dikeluarkan sejumlah kebijakan di antaranya Peraturan Menteri LHK nomor 32/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, membenahi tata kelola gambut dengan baik dan berkelanjutan melalui pengawasan izin, penanganan dini melalui status kesiagaan dan darurat kebakaran hutan dan lahan, dan berbagai kebijakan teknis lainnya.
Dari sisi penegakan hukum, kata dia, untuk pertama kali dilakukan pelaku pembakar dalam kasus kebakaran hutan dan lahan dikenai pendekatan multidoor, yakni dengan langkah hukum pidana, perdata dan administrasi. Langkah hukum ini tidak hanya menyasar perorangan, tetapi juga korporasi.
Dalam kurun waktu 2015-2018 lebih hampir 550 kasus dibawa ke pengadilan baik melalui penegakan hukum pidana maupun perdata. Sebanyak 500 perusahaan dikenakan sanksi administratif terkait pelanggaran yang dilakukan, bahkan ada yang dicabut izinnya. Untuk pengamanan kawasan hutan dan sumberdaya kehutanan lebih dari 713 operasi pengamanan dilakukan dengan melibatkan KLHK, Kepolisian dan TNI. Kasus kebakaran hutan dan lahan yang berhasil dimenangkan nilainya mencapai Rp 18 triliun.
Dalam kurun waktu 2015-2018 lebih hampir 550 kasus dibawa ke pengadilan baik melalui penegakan hukum pidana maupun perdata
Arie Rompas, satu dari tujuh penggugat gugatan warga negara mengatakan fakta menunjukkan pada tahun 2015, warga tak merasakan kehadiran pemerintah dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Kini upaya perbaikan pencegahan kebakaran hutan dan lahan diakuinya mulai tampak dengan kehadiran Badan Restorasi Gambut maupun proses hukum terhadap 10 perusahaan di Kalteng.
“Meski sampai sekarang perusahaan tersebut belum membayar dendanya,” kata dia. Selain itu, saat ini, kabut asap mulai membayangi Palangkaraya dan sekitarnya yang menunjukkan pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.