Akta Kelahiran Anak, Bukti Legal Kehadiran di Dunia
Akta kelahiran merupakan salah satu hak pertama anak begitu terlahir di dunia. Dokumen ini menjadi bukti eksistensi yang berpengaruh besar sampai tutup usia nanti.
Oleh
Ida Ayu Grhamtika Saitya
·5 menit baca
Akta kelahiran merupakan salah satu hak pertama anak begitu terlahir di dunia. Dokumen ini menjadi bukti eksistensi yang berpengaruh besar sampai tutup usia nanti. Sayangnya, masih banyak anak Indonesia yang belum memilikinya. Orangtua masih ada yang terkendala biaya, akses yang jauh, dan proses yang rumit.
Dalam Konvensi Hak-hak Anak PBB tahun 1989 dinyatakan bahwa anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran serta memiliki nama dan kewarganegaraan. Mendapatkan layanan pencatatan sipil dan pemberian identitas hukum memiliki dampak yang sangat besar pada status kewarganegaraan dan perlindungan terhadap hak-hak lainnya di masa depan.
Indonesia telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 1990. Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan telah diatur bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan paling lambat 60 hari sejak dilahirkan. Kepemilikan akta kelahiran menjadi sangat penting karena sebagai syarat berbagai pelayanan publik, antara lain status kependudukan KTP, pendaftaran sekolah, dan pernikahan.
Anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran serta memiliki nama dan kewarganegaraan.
Kondisi anak Indonesia
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS di tahun 2017 menunjukkan, 83,33 persen anak Indonesia sudah memiliki akta kelahiran. Dari angka tersebut di antaranya 62,19 persen anak terbukti memiliki akta kelahiran karena dapat menunjukkan bukti fisik akta. Sementara 21,14 persen lainnya tidak dapat menunjukkannya.
Angka ini sebenarnya telah mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2011, kala itu hanya 64 persen anak Indonesia yang memiliki akta kelahiran. Sayangnya, di tahun 2017 ini masih ada 16,39 persen yang tidak memiliki akta kelahiran.
Jika dipilah berdasarkan provinsi, Papua merupakan provinsi tertinggi yang tidak memiliki akta kelahiran, yakni 54,28 persen. Alasan terbesarnya (38,64 persen) adalah karena tidak mengetahui bahwa kelahiran harus dicatatkan atau bagaimana cara mengurusnya.
Terendah kedua adalah Provinsi NTT, yakni 43,11 persen anak. Berbeda dengan di Papua, alasan terbesar bahwa anak tidak memiliki akta kelahiran adalah karena akta tersebut belum terbit. Hal ini juga terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah yang menjadi provinsi terendah keempat terkait kepemilikan akta kelahiran.
Jika dilihat menurut wilayah tempat tinggal antara perkotaan dan perdesaan, terlihat bahwa anak-anak yang tinggal di perdesaan lebih banyak yang tidak memiliki akta kelahiran dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan.
Santi Kusumaningrum, Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa), menyatakan, ada tiga alasan utama ketiadaan akta kelahiran, yakni tidak memiliki biaya, akses yang jauh, dan proses yang rumit.
”Meski di undang-undang sudah dijamin gratis, ada opportunity cost yang harus dihitung, seperti fotokopi dokumen, biaya perjalanan menuju kantor disdukcapil di ibu kota atau kecamatan, sampai siapa yang menjaga anak jika harus mengurus akta kelahiran,” ujarnya.
Santi juga menambahkan, kondisi di Indonesia saat ini adalah keberadaan kantor dinas kependudukan dan pencatatan sipil (disdukcapil) yang kebanyakan baru ada di ibu kota kabupaten. Terdapat sejumlah hambatan jika diadakan di kecamatan, seperti anggaran dan sumber daya manusia. Kini Puskapa sedang mendorong layanan administrasi kependudukan untuk ada di desa.
Akta kelahiran adalah dokumen resmi dan permanen atas keberadaan anak. Tanpanya, anak akan kesulitan mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan. Bahkan lebih rentan menjadi target perdagangan, perburuhan, dan perkawinan anak.
Hal senada terlihat dari Survei Rumah Tangga yang dilakukan oleh LSM Pekka (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) di tahun 2012 terhadap lebih dari 320.000 orang di 17 provinsi. Hasilnya menunjukkan, dari 100 anak perempuan, sembilan di antaranya dinikahkan sebelum usia 15 tahun dan semuanya tidak memiliki akta kelahiran.
Proses untuk memiliki akta kelahiran memang cukup rumit karena berkaitan dengan dokumen keluarga lainnya. Perkawinan orangtua harus disahkan, baik itu di pengadilan, memperoleh buku nikah di kantor urusan agama (KUA), maupun akta nikah di catatan sipil. Setelah hal ini terlewati, baru bisa mengurus akta kelahiran di catatan sipil.
Survei dari Pekka juga menunjukkan, pada 30 persen rumah tangga termiskin, lebih dari separuh jumlah pernikahannya tidak tercatat dan sebanyak 75 persen anak dari pernikahan tersebut tidak memiliki akta kelahiran.
Seperti dialami Nurjanah (35), ibu rumah tangga di Kota Depok, Jawa Barat, yang tengah mencari jalan untuk mengurus akta kelahiran anaknya. Anak ketiga dan keempatnya yang berusia lima tahun dan dua tahun belum memiliki akta kelahiran. Sebelumnya, ibu beranak empat ini selalu mengurus akta kelahiran menjelang anaknya masuk sekolah karena kendala biaya. Apalagi, Nurjanah dan suaminya belum memiliki buku nikah sehingga untuk mengurus akta kelahiran harus melalui cara tidak sah yang memakan biaya.
Belajar dari negara lain
Indonesia seyogianya bisa belajar dari negara lain terkait pemberian identitas hukum bagi anak. Sebuah studi dari Academy of Macroeconomic Research di Komisi Nasional Pengembangan dan Reformasi China tahun 2015 menemukan bahwa separuh dari anak yang tidak didaftarkan mengalami buta huruf atau tidak mendapat pendidikan formal.
Sebagai negara dengan sistem pendaftaran tunggal atau dikenal dengan hukou untuk warga negaranya, warga tanpa hukou tidak akan mendapat layanan publik. Hukou berisikan data seperti kelahiran dan pernikahan. Ketika mereka tidak memiliki akta kelahiran, maka secara hukum mereka dianggap tidak ada di dunia ini. Secara otomatis mereka juga tidak memiliki kewarganegaraan.
Lain halnya dengan sejumlah negara di Afrika, seperti Nigeria, Senegal, Uganda, dan Kenya, yang meluncurkan layanan pendaftaran anak melalui short message service (SMS) untuk kemudahan.
Jangan sampai jutaan anak Indonesia menjadi ”siluman” yang keberadaannya tidak diakui oleh negara.
Di sisi lain, Brasil menjadi salah satu negara yang sukses meningkatkan angka pendaftaran kelahiran dari 70 persen di tahun 1995 menjadi 90 persen di tahun 2013 sebagaimana diberitakan The Independent. Caranya adalah dengan menggratiskan pendaftaran anak serta menaruh unit pendaftaran anak di tempat bersalin di daerah dengan tingkat registrasi kelahiran anak yang rendah.
Identitas hukum merupakan hak setiap anak dan negara wajib untuk memenuhinya. Akta kelahiran menjadi bukti kehadiran anak di dunia. Jangan sampai jutaan anak Indonesia menjadi ”siluman” yang keberadaannya tidak diakui oleh negara. Sebuah kondisi yang harus mendapat perhatian semua pihak tepat di Hari Anak Internasional 2019. (IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA/LITBANG KOMPAS)