Pengusaha Nilai RUU Sumber Daya Air Tak Memihak Swasta
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pengusaha Indonesia kembali menyuarakan permintaannya kepada pemerintah untuk mengevaluasi Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air atau RUU SDA. RUU tersebut dinilai akan merugikan pelaku industri swasta yang memanfaatkan air sebagai bahan baku, terutama industri air minum dalam kemasan.
RUU SDA yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat RI pada akhir April 2018 akan mencapai tahap akhir pembahasan, akhir Juli 2019. Jika disahkan, UU itu akan menggantikan UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan serta mengisi kekosongan setelah UU No 7/2004 tentang SDA dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 karena dinilai tidak ketat membatasi pengelolaan air oleh swasta.
Meski mengapresiasi langkah tersebut, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai beberapa pasal dalam RUU tersebut belum memihak pelaku industri swasta. Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani dalam temu media di Jakarta, Selasa (23/7/2019), mengatakan, keluhan dan keinginan pihak swasta untuk dilibatkan dalam pembahasan itu tidak direspons baik oleh pemerintah.
”Kami kecewa dengan keputusan MK waktu itu. Dampaknya, RUU SDA saat ini mengatur agar semua pengolahan air dilakukan oleh pemerintah lewat badan usaha milik negara atau daerah. Menurut kami tidak bisa demikian, karena ini menyangkut dampak strategis untuk kepentingan masyarakat juga,” tuturnya.
Keluhan tersebut didasarkan pada beberapa pasal di RUU yang antara lain tidak membedakan wewenang pengelolaan air, baik oleh badan usaha milik pemerintah maupun swasta. Sementara air perlu ditilik dalam dua fungsi, yaitu fungsi sosial dan fungsi ekonomi.
Dampaknya, RUU SDA saat ini mengatur agar semua pengolahan air dilakukan oleh pemerintah lewat badan usaha milik negara ataupun daerah.
Anggota Kebijakan Publik Apindo Lucia Karina mengatakan, air dalam fungsi sosial merupakan tanggung jawab pemerintah karena terkait kebutuhan harian, seperti untuk minum, mencuci, dan sanitasi. Sementara dalam fungsi ekonomi, air ada pada proses ekonomi, seperti produksi air minum dalam kemasan (AMDK).
”Tidak adanya perbedaan antara definisi fungsi sosial dan ekonomi air dalam UU itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Keinginan swasta untuk berinvestasi jadi surut. Bagi pemerintah, ini juga akan menyulitkan negara dalam memenuhi kebutuhan air 100 persen ke seluruh rakyat Indonesia,” tutur Lucia menambahkan pada kesempatan yang sama.
Selain itu, adanya aturan mengenai kewajiban penyisihan 10 persen laba untuk konservasi SDA, sebagaimana disebut pada pasal 47 huruf (g), dinilai akan memberatkan pelaku usaha industri. Pasalnya, industri juga telah dibebani biaya pajak penggunaan SDA sebanyak 10 hingga 20 persen, sebagaimana diatur dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi.
Oleh karena itu, beberapa aturan yang dinilai tidak harmonis, menurut Lucia, bisa berdampak pada investasi dan kinerja beragam perusahaan yang menggunakan bahan baku air. Industri tersebut seperti industri tekstil, semen, kertas, kelapa sawit, dan AMDK.
Terancam
Ketua Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Rachmat Hidayat mengatakan, industri AMDK akan terancam jika RUU SDA tidak segera dievaluasi. Ia pun meragukan kepemilikan industri AMDK oleh badan usaha milik pemerintah.
Menurut Rachmat, industri AMDK memang hanya mengelola dan memproduksi sebagian kecil air daripada industri lain. Berdasarkan data Aspadin, konsumsi air dari aktivitas industri di Indonesia mencapai 27,7 triliun liter per tahun. Sementara industri AMDK menggunakan sebanyak 29 miliar liter per tahun.
”Meski demikian, dengan pemindahan kepemilikan industri AMDK swasta ke pemerintah, akan mengorbankan 40.000 tenaga kerja langsung. Belum lagi tenaga kerja tidak langsung dalam supply chain yang lebih banyak,” ujarnya.