Belajar Air, Datanglah ke Bali
Masyarakat Bali mencatat sejarah panjang dalam hal mensyukuri berkah air. Salah satu sumber mata air kuno Tirta Empul di Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar, Bali tercatat di Prasasti Manukaya dengan angka tahun 884 Saka atau 962 Masehi. Sejak 1.057 tahun silam, masyarakat Bali sudah memberikan penghargaan khusus terhadap air.
Mata air Tirta Empul inilah yang kemudian mengalir menjadi Tukad Pakerisan di sisi timur dan Patanu di sisi barat. Di sepanjang aliran Tukad Pakerisan maupun Patanu membentang situs-situs kuno, baik berupa petirtaan atau permandian suci maupun pertapaan.
Di sepanjang Tukad Pakerisan, misalnya, ditemukan Candi Yeh Mangening, Candi dan Pertapaan Gunung Kawi, Pertapaan Goa Garba, Candi dan Pertapaan Tegallinggah. Sementara itu di sepanjang Tukad Petanu terdapat Candi dan Pertapaan Kelebutan Tatiapi dan Pertapaan Goa Gajah.
Masyarakat meyakini, mata air Tirta Empul bisa menyucikan, membersihkan, dan melebur kekotoran lahir maupun batin. Selain itu, air juga menyimbolkan kesuburan atau simbol kehidupan itu sendiri.
Kesadaran terhadap betapa penting makna dan fungsi air bagi kehidupan segenap makhluk itulah kiranya yang menjadikan masyarakat Bali sangat memuliakan air. Ritus-ritus pemuliaan sumber-sumber mata air pun digelar dalam kurun waktu tertentu secara terus-menerus.
Kesadaran terhadap betapa penting makna dan fungsi air bagi kehidupan segenap makhluk itulah kiranya yang menjadikan masyarakat Bali sangat memuliakan air.
“Sumber-sumber mata air dikeramatkan agar tidak dirusak atau diperlakukan tidak sepatutnya. Setiap ritus keagamaan diawali dan diakhiri dengan air suci yang dinamakan tirta. Dengan air kehidupan dimuliakan, dengan memuliakan air kesuburan tanah pun terjaga,” kata Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria pekan lalu.
Dijaga dari hulu ke hilir
Bukan semata-mata penghormatan secara ritual saja yang dilakukan masyarakat Bali terhadap keberadaan air. Sejak ribuan tahun silam, leluhur Pulau Dewata telah memberikan ajaran bagaimana melakukan konservasi sumber daya air mulai dari hulu hingga ke hilir.
Peran serta masyarakat di kawasan hulu sungai tempat mata air-mata air berada mendapatkan perhatian dari para petani di bagian bawah atau hilir sungai. Di Jatiluwih, Tabanan, organisasi subak menyisihkan dana penjualan tiket wisata sebesar 4 persen dari perolehan bagi hasil mereka kepada subak abian atau kelompok petani yang mengelola perkebunan di daerah tangkapan air bagian hulu.
Di Badung, dulu setiap anggota subak juga wajib memberikan hasil panen 3 kilogram setiap kali habis panen kepada Pura Taman Ayun yang menjadi pemasok air bagi 250 hektar kawasan subak di Badung.
“Sekitar 10 tahun lalu tradisi itu sudah berhenti karena Pura Taman Ayun sudah mendapat bantuan dari pemerintah daerah,” papar Made, salah satu anggota subak di Badung. Meski tradisi pemberian hasil panen berhenti, tetapi penghargaan terhadap penjaga daerah tangkapan air tetap dilanjutkan.
Dibagi secara adil
Di beberapa bekas kerajaan Bali, sumber-sumber air memang dialirkan terlebih dulu ke telaga-telaga kerajaan seperti di Pura Taman Ayun, Badung (Kerajaan Mengwi) dan Taman Ujung Karangasem (Kerajaan Karangasem) lalu baru dialirkan ke sawah-sawah. Meski demikian, kerajaan tidak mengelola air, tetapi hanya menggunakan kekuasaannya agar air melalui kolam kerajaan terlebih dulu sebelum mengalir ke sawah-sawah masyarakat.
Kerajaan tidak mengelola air, tetapi hanya menggunakan kekuasaannya agar air melalui kolam kerajaan terlebih dulu sebelum mengalir ke sawah-sawah masyarakat
“Dasarnya tetap tektek atau porsi air. Subak sudah menerapkan sistem irigasi pintar,” kata Pakar subak dari Universitas Udayana, Bali, Prof I Wayan Windia.
Seluruh subak di Bali memiliki kebijakan yang seragam, antara lain mewajibkan masing-masing anggota memiliki satu pintu masuk air dan satu pintu keluar air. Dari pintu keluar, air tidak boleh langsung masuk ke sawah lain, tetapi harus dialirkan dahulu ke saluran air agar semua anggota subak bisa saling memanfaatkan atau saling “pinjam-meminjam” air. Dengan aturan ini, maka tidak ada praktik pencurian air dan tidak ada petani yang bisa memonopoli air.
Dosen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Institut Pertanian Bogor Nana Mulyana mengungkapkan, para petani Bali dengan kearifan lokalnya telah menerapkan Payment for Environmental Services atau skema imbal jasa lingkungan dari hilir ke hulu guna merehabilitasi daerah tangkapan air dan mewujudkan pengelolaan sumber air yang berkelanjutan.
“Pembayaran diberikan dalam berbagai bentuk, mulai dari pemberian beras, uang, dan sebagainya. Subak bukan sekedar sistem irigasi, tetapi pola hidup petani di Bali yang berkeadilan, mandiri dalam pengelolaan air, dan pertanian berbasis budaya serta agama yang perlu dilestarikan,” ujarnya.
Meski belum membudaya seperti di Bali, skema imbal jasa lingkungan dari hilir ke hulu telah diterapkan pula di daerah lain. Di Kuningan, Jawa Barat, Pemda Cirebon membayar Rp 1,75 miliar kepada Pemda Kuningan karena memanfaatkan sumber mata air Darmaloka serta mata air Cipaniis sebagai pasokan Perusahaan Daerah Air Minum di Cirebon.
Hal serupa juga dilakukan Kota Mataram yang memberikan dana kompensasi Rp 4,7 miliar per tahun untuk menjaga konservasi ekosistem Rinjani sebesar 75 persen dan operasional Pemda Lombok Barat 25 persen.
Keberhasilan Bali dalam memuliakan air lebih dari 1.000 tahun menjadi pembelajaran penting bagaimana kearifan-kearifan lokal perlu terus-menerus dijaga dan dilestarikan. Jika ditelusuri lebih lanjut, kearifan-kearifan lokal masyarakat Bali dalam mengonservasi air sebenarnya juga bisa ditemui di daerah-daerah lain. Yang perlu disadari bersama adalah, tradisi memuliakan air harus menjadi gerakan bersama seperti yang sudah dilakukan masyarakat Bali selama berabad-abad.
Kalau mau belajar tentang air…tak perlu pergi jauh-jauh, datang saja ke Bali.