Di balik perjuangan anak dengan HIV/AIDS atau ADHA, ada sosok yang memilih jalan mendedikasikan hidup bagi ADHA. Mereka meninggalkan kehidupan normalnya, lalu mengambil peran sebagai orangtua untuk mengasuh dan membesarkan ADHA.
Islamiyah (51), pengasuh di rumah singgah Yayasan Lentera di Solo, bersiap menjemput D (1) di RSUD dr Moewardi, Kamis (18/7/2019). D, salah seorang ADHA yang diasuh di rumah Lentera, sejak Sabtu (13/7) malam harus dirawat inap karena muntaber.
”Dia seperti cucu saya sendiri. Saya merawat dia sejak baru lahir,” ujar Islamiyah. Bergantian dengan pengasuh lain di rumah singgah, Islamiyah menemani D saat diopname. ”Dia (D) sangat dekat dengan saya,” ujar Islamiyah.
Islamiyah menjadi pengasuh sejak Yayasan Lentera didirikan Yunus Prasetyo dan Puger Mulyono pada 2013. Islamiyah tinggal bersama 32 ADHA di rumah Lentera. Setiap hari, ia bangun sekitar pukul 03.00, lalu menyapu halaman, memasak, dan memandikan anak-anak yang berumur kurang dari 10 tahun.
Setelah anak-anak sarapan, giliran Kristato (38), pengasuh lainnya, mengantar mereka ke sekolah. Kristato, yang akrab dipanggil Om Tato, sekaligus berperan sebagai wali siswa bagi 3 ADHA yang duduk di bangku SMP, 16 orang di bangku SD, dan 1 anak di TK. Selain mengantar sekolah, Kristato juga mengambil rapor, bertemu guru, dan mengurus pendaftaran.
”Saya di sini ingin menebus dosa,” ujar Tato yang pernah terjerat narkoba hingga menjalani program rehabilitasi. ”Di sini saya menemukan keluarga. Saya juga pengin menepi karena kalau ketemu teman-teman lama, potensi untuk kembali (ke narkoba) lebih besar,” ujar pria yang menjadi pengasuh di rumah Lentera setahun terakhir itu.
Tato rutin membantu menyuapi 12 ADHA yang masih berusia balita dan menyiapkan obat. Ia juga menjadi teman bermain sekaligus paman bagi mereka. ”Di sini saya menemukan kedamaian. Saya bersyukur ketemu anak-anak di sini dan lebih bersyukur lagi dengan hidup saya. Ternyata dulu saya banyak menyia-nyiakan hidup saya,” ujarnya.
Di rumah Lentera ini, sistem keluarga dibangun agar anak-anak merasa nyaman seperti berada di tengah keluarga sendiri. Yunus, yang juga Ketua Yayasan Lentera, biasa dipanggil ”ayah”. Adapun Puger disapa ”pak’e” (ayah).
Yunus, aktivis dan pemerhati isu HIV/AIDS, memulai penyediaan rumah singgah ADHA pada 2013. Berbekal uang Rp 18 juta hasil menjual sepeda motor, Yunus mengontrak rumah untuk menampung dan merawat ADHA di Songgorunggi, Laweyan, Solo. Pernah pindah kontrakan beberapa kali, mereka akhirnya dapat menempati rumah baru yang dibangun dari program tanggung jawab sosial perusahaan swasta bekerja sama dengan Kementerian Sosial dan Pemerintah Kota Solo.
Panggilan hidup
Tinggal dan mendedikasikan hidup untuk mengasuh ADHA juga dilakoni Enni Simanjuntak (31) dan Elisabeth Sihombing (25). Keduanya merupakan diakones atau pelayan gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), sekaligus pengasuh di House of Love, rumah pengasuhan bagi ADHA di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. House of Love HKBP didirikan pada 2015 dan kini mengasuh enam ADHA, semuanya yatim piatu.
Tahun lalu, empat dari anak-anak itu ditolak di sekolah. Orangtua siswa lain mengancam akan menarik anaknya jika ADHA tetap bersekolah. Di lingkungan masyarakat, banyak warung yang menolak mereka jajan. Beberapa orangtua melarang anaknya bermain bersama mereka.
Di tengah kondisi itu, Enni dan Elisabeth berjuang mengasuh anak-anak tersebut. Tak jarang mereka dicaci maki oleh sebagian masyarakat yang tidak suka dengan keberadaan ADHA di lingkungannya. Enni dan Elisabeth yang sudah menjadi ”mama” bagi ADHA di House of Love tegar menghadapi semua cercaan itu. ”Saya percaya ini panggilan dari Tuhan,” kata Enni.
Di tengah kondisi diskriminasi, Enni dan Elisabeth tetap tulus memberikan hidup dan cintanya kepada ADHA yang diasuhnya. Keduanya hadir laksana cahaya di ”Rumah Cinta”, yang akan menuntun ke masa depan ADHA ke arah yang lebih cemerlang. (ERWIN EDHI PRASETYA/NIKSON SINAGA)