Filipina Kembangkan Wisata di Kawasan Laut China Selatan
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
MANILA, SELASA — Pemerintah Filipina tengah mempertimbangkan pengembangan wisata di Pulau Thitu, kawasan terdepan sekaligus paling strategis di Laut China Selatan. Pengembangan itu dinilai menjadi strategi sekaligus penegasan Manila atas klaim kedaulatannya di kawasan yang diklaim sejumlah negara tersebut.
Pulau Thitu, yang berada di Kepulauan Spratly, saat ini tengah dalam proses penambahan hingga pembangunan aneka fasilitas yang sebelumnya berada dalam kondisi bobrok. Proses yang dilakukan otoritas Filipina itu berkejaran dengan upaya serupa yang dijalankan otoritas China dan Vietnam. Filipina, China, dan Vietnam adalah negara pengklaim dalam sengketa Laut China Selatan (LCS) bersama Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
”Kami berada di jalur yang tepat dalam membangun kembali atau memperbaiki landasan pacu kami di Pagasa,” kata Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana, merujuk pada Thitu, sekitar 280 mil laut di timur lepas pantai Filipina dalam jumpa pers di Manila, Selasa (23/7/2019).
”Selain itu, di masa mendatang kami akan membangun struktur bagi pasukan kami di sana dan mungkin beberapa hotel bagi orang Filipina yang ingin pergi ke sana sebagai turis,” katanya dalam konferensi pers.
Jalan landai dibuat di pulau untuk memungkinkan bahan bangunan dan alat berat dipindahkan ke pulau seluas 37 hektar itu. Saat ini pulau tersebut menjadi tempat tinggal bagi sejumlah warga dari total populasi Filipina yang hidup dengan subsidi pemerintah dan juga dijaga oleh tentara Filipina.
Menurut Penasihat Keamanan Nasional Filipina, Hermogenes Esperon, saat ini tengah dibangun juga pelabuhan terlindung untuk kapal penangkap ikan yang lebih besar, kapal penjaga pantai, dan kapal angkatan laut. ”Kami tidak meninggalkan pulau apa pun, tidak ada pulau yang diambil dari kami sejak 2016, maka kami memperkuat posisi dan kepemilikan kami,” kata Esperon.
Kami tidak meninggalkan pulau apa pun, tidak ada pulau yang diambil dari kami sejak 2016, maka kami memperkuat posisi dan kepemilikan kami.
Merujuk data lembaga Prakarsa Transparansi Maritim Asia, di Kepulauan Spratly, Filipina menguasai sembilan pulau, salah satunya Pulau Thitu. Adapun Malaysia mengontrol lima pulau, Taiwan memiliki satu pulau, dan Vietnam paling banyak dengan penguasaan 27 pulau.
Sebagai perbandingan, wilayah Karang Subi yang merupakan milik China adalah sebuah benteng. Meski hanya berjarak 14 mil laut dari Pulau Thitu, wilayah itu menampung sekitar 400 bangunan milik individu. Bangunan di wilayah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan bangunan di enam pulau buatan China lainnya di Spratly. Dari enam pulau buatan itu, tiga pulau di antaranya telah dilengkapi dengan radar, hanggar, landasan pacu, dan peluncur rudal ke udara.
Dalam pidato tahunannya Senin pekan ini, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyatakan, rudal-rudal itu bukanlah alasan yang dibuat untuk memprovokasi China. Hal itu juga menjadi penegasan bahwa dirinya tidak mengambil sikap konfrontatif terhadap China, sikap yang mengundang tanya bagi negara, seperti Amerika Serikat.
China seperti diketahui mengklaim memiliki hak kepemilikan historis atas hampir seluruh wilayah LCS. Klaim itu dilakukan meski ada putusan arbitrase internasional tahun 2016 yang mengatakan bahwa klaim itu tidak memiliki dasar hukum di bawah hukum internasional. Kawasan LCS merupakan rute perdagangan vital senilai lebih dari 3 triliun dollar AS setiap tahun.
Kawasan LCS belakangan menjadi hangat kembali. Terakhir diberitakan media The Wall Street Journal bahwa Pemerintah China akan dapat menempatkan pasukan bersenjata di pangkalan angkatan laut Kamboja. Hal itu merupakan bagian dari pakta rahasia di antara kedua negara meskipun kemudian dibantah para pejabat Kamboja.
Perjanjian itu dinilai bakal meningkatkan kemampuan China untuk menegaskan klaim teritorial dan kepentingan ekonomi yang diperebutkan di LCS, sekaligus menantang secara langsung langkah AS di Asia Tenggara. (AP/REUTERS)