JAKARTA, KOMPAS – Anak dengan HIV/AIDS atau ADHA selama ini belum mendapatkan perhatian serta perlindungan optimal dari negara. Bantuan serta pendampingan yang diberikan masih disamakan dengan kebutuhan usia dewasa. Tahun ini, pemerintah pun mulai menfokuskan intervensi melalui penanganan khusus.
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial Kanya Eka Santi saat dihubungi di Jakarta, Rabu (23/7/2019) mengatakan, inovasi yang dikembangkan melalui basis data terpadu menjadi inisiasi untuk menangani anak yang memerlukan perlindungan khusus, salah satunya anak dengan HIV/AIDS. Data ini didapatkan dari lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) yang tersebar di sejumlah daerah.
“Data yang diterima akan menjadi dasar kami memberikan bantuan bagi anak yang butuh perlindungan khusus, termasuk ADHA. Meski bantuan yang diberikan tidak besar, kami harap bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, seperti pemenuhan gizi dan akses kesehatan,” ujarnya.
Ia menuturkan, penanganan untuk ADHA selama ini sudah diberikan namun masih tergabung dengan program bantuan untuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA) usia dewasa. Melalui program ini diharapkan perlindungan dan penanganan bagi ADHA bisa lebih optimal karena lebih fokus dan spesifik.
Sebagai percontohan, program untuk penanganan ADHA sudah dijalankan di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Pekerja sosial yang berada di wilayah tersebut mencatat sebanyak 28 anak usia 0-18 tahun terinfeksi virus HIV. Anak-anak tersebut masuk dalam golongan tidak mampu yang harus dibantu pemerintah.
“Setelah kami mendata, kami pastikan akses terhadap obat ARV juga bisa dijangkau dengan mudah. Selain itu, kami juga bentuk kader pendamping ADHA. Kader ini merupakan tim khusus yang beranggotakan pekerja sosial dari Kementerian Sosial, psikolog, lembaga swadaya masyarakat, serta tokoh agama. Kader ini juga nanti akan diterapkan di wilayah lain,” kata Kanya.
Sebagai percontohan, program untuk penanganan ADHA sudah dijalankan di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur
Dihubungi secara terpisah, Anggota Komisi IX DPR RI Nova Riyanti Yusuf menilai, penanganan ADHA butuh integrasi yang baik antarpemangku kepentingan. Persepsi untuk menjadikan ADHA sebagai fokus intervensi juga harus disamakan.
“Harus ada pembahasan khusus dari semua stakeholder. Harus disamakan dulu persepsinya, ADHA akan ada di posisi mana dalam intervensi pemerintah. Dikhawatirkan, kalau tidak ada persamaan persepsi tujuan yang ingin dicapai untuk memberikan perlindungan hak di segala aspek tidak bisa tercapai,” katanya.
Pembahasan ini, tambah dia, terutama dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait, mulai dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, serta masing-masing kepala daerah.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, persoalan diskriminasi terhadap ADHA harus segera diselesaikan. Ia mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan sosialisasi serta edukasi yang lebih masif kepada masyarakat terkait penularan HIV. Penularan ini hanya bisa terjadi lewat hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik, dan air susu ibu. Untuk itu, masyarakat tidak perlu takut tertular jika berinteraksi dengan ADHA.
“Bimbingan melalui psikolog juga perlu diberikan agar ADHA dapat mengikuti pelajaran dengan baik di sekolah tanpa tekanan mental,” ucapnya.
Selain itu, Bambang juga mendorong Kemenkes untuk melakukan pendataan terhadap anak dengan HIV/AIDS agar memudahkan pemerintah dalam mencari solusi terbaik bagi mereka, baik untuk pemberian pengobatan maupun dalam memberikan pembinaan.
“Saya himbau kepada seluruh orang tua tidak menutupi kondisi anaknya yang terkena HIV/AIDS agar mereka dapat bersosialisasi dengan sesamanya tanpa diskriminasi,” katanya.