JAKARTA, KOMPAS — Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, Selasa (23/7/2019), mengingatkan, pada era Revolusi Industri 4.0 ini media massa perlu terus memaksimalkan fungsinya. Tak hanya sebagai penyebar informasi, media massa pun harus mengembangkan optimisme dalam masyarakat. Apalagi, di masa lalu, bangsa Indonesia mampu menunjukkan keunggulan dan peradaban yang maju dibandingkan dengan bangsa lain.
Berbicara dalam diskusi tentang bisnis media pada Revolusi Industri 4.0 di Jakarta, dalam rangka hari ulang tahun (HUT) ke-31 Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), Nuh mengisahkan bahwa pada 1350-1389 Raja Majapahit Hayam Wuruk berkelana menggunakan perahu dengan panjang sekitar 20 meter, lebar 4,5 meter, dan tinggi 2 meter. Tahun 1492, seabad kemudian, Christopher Columbus menemukan Benua Amerika dengan memakai kapal sepanjang 18 meter, lebar 6 meter, dan tinggi 2 meter.
”Baru sekitar 400 tahun kemudian, tahun 1852, Marcopolo berkelana dengan kapal sepanjang 56 meter, lebar 11 meter, dan tinggi 8,8 meter. Indonesia pada abad ketujuh hingga keempat belas memiliki peradaban yang unggul. Pada masa depan, kita bisa kembali unggul,” tutur Nuh yang juga mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Optimisme itu harus disebarkan dan dikembangkan melalui media massa.
Selain Nuh, pembicara dalam diskusi itu antara lain Direktur Utama PT Tempo Inti Media Toriq Hadad. Diskusi tersebut dihadiri sejumlah tokoh pers nasional, di antaranya Atmakusumah, Agus Sudibyo, Ahmad Djauhar, dan TD Asmadi, serta dipandu mantan Direktur Eksekutif LPDS Priyambodo.
Menurut Nuh, peran media massa sebagai pemberi pesan harapan harus terus dioptimalkan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers antara lain mengamanatkan peran media massa sebagai alat edukasi, pemberdayaan masyarakat, pencerahan, dan untuk kepentingan nasional. Media massa sudah seharusnya mencerdaskan masyarakat sehingga masyarakat mampu memilah dan memilih berita yang palsu dan berita yang berdasarkan fakta yang benar, serta memproduksi fakta yang sesungguhnya.
Mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu mengakui pula, ia sempat meragukan berbagai ramalan, yang berdasarkan data dan fakta, yang akan menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari lima negara terbesar di dunia ini. Tahun 2012, misalnya, McKinsey Global Institute menempatkan Indonesia sebagai negara ke-16 terbesar di dunia, dan memperkirakan pada 2030 akan berada di peringkat ketujuh negara terbesar di dunia. Tahun 2014, Indonesia sudah berada di peringkat kesepuluh.
”Saya percaya Indonesia akan menjadi negara yang besar karena sekitar 70 persen penduduknya dalam usia produktif. Kondisi ini adalah anugerah yang luar biasa. Namun, jangan sampai bangsa ini salah urus,” tuturnya. Oleh karena itu, Nuh meminta media massa terus mengawal arah pembangunan bangsa ini, termasuk dengan terus membangun optimisme dalam masyarakat.
Tidak mudah
Toriq mengakui, bisnis media massa saat ini tidaklah mudah. Kredibilitas dan kreativitas akan menentukan media massa yang mampu bertahan. Media yang memiliki kekhasan tertentu, memiliki keunggulan spesifik, akan berpeluang bertahan dibandingkan dengan media yang tidak memiliki spesifikasi.
Ia juga meyakini, di era Revolusi Industri 4.0 ini tak berlaku prinsip the winner takes all, pemenang akan mengambil semuanya. Tak ada satu pun produk digital yang bisa mengambil semua hal, atau memiliki keunggulan di segala bidang.
Nuh menambahkan, mengutip pernyataan Bapak Evolusi Charles Darwin, pada era digital, yang ditandai dengan kecepatan perubahan, bukan mereka yang terkuat, terpintar, atau terbesarlah yang akan bertahan. Mereka yang bisa beradaptasi dengan perubahan itulah yang bisa bertahan. Kondisi ini juga berlaku untuk media massa.
Direktur Eksekutif LPDS Hendrayana melaporkan, lembaga yang dibidani oleh Dewan Pers dan sejumlah pemimpin media massa itu terus mengembangkan kemampuan wartawan, dengan melakukan sejumlah program pendidikan dan uji kompetensi. Wartawan adalah profesi yang memerlukan standar kompetensi sebagai salah satu tolok ukur dalam menjalankan pekerjaannya.