Ekspor produk hasil hutan, terutama kayu olahan, selama ini terkesan kurang dilirik. Oleh karena itu, pelaku usaha dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia mendorong pemerintah membuat kebijakan yang menggairahkan industri kayu olahan.
Oleh
Ferry Santoso
·2 menit baca
Badan Pusat Statistik mencatat defisit neraca perdagangan pada semester I-2019 sebesar 1,93 miliar dollar AS. Angka itu naik dibandingkan semester I-2018 sebesar 1,2 miliar dollar AS. Defisit perdagangan migas masih jadi faktor dominan. Bagaimana menekan defisit perlu dilakukan dengan mengurangi ketergantungan impor migas. Upaya lain adalah dengan meningkatkan ekspor nonmigas.
Ekspor kayu olahan dinilai dapat mengurangi defisit. Selain menambah devisa, ekspor kayu olahan, terutama dari Papua dan Papua Barat, dinilai dapat menumbuhkan usaha kecil dan menengah bidang penggergajian dan menumbuhkan aktivitas ekonomi di daerah.
Ekspor produk hasil hutan, terutama kayu olahan, selama ini terkesan kurang dilirik.
Dari perhitungan APHI, peningkatan devisa dari ekspor kayu diperkirakan 1,6 miliar dollar AS, antara lain dari kayu gergajian, kayu olahan, dan panel kayu. Pada tahun 2018, nilai ekspornya mencapai 12,2 miliar dollar AS, naik dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 10,3 miliar dollar AS. Namun, mendorong ekspor kayu olahan saat ini tak mudah sebab ada sejumlah regulasi yang perlu diperhatikan, seperti peraturan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan terkait penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih.
Ketentuan lain, seperti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2016, mengatur bahwa ekspor produk industri kehutanan dibatasi, yaitu hanya dapat diekspor oleh industri yang memiliki tanda daftar industri dan izin usaha industri.
Vietnam dinilai sebagai negara yang memiliki kegairahan dalam industri produk kayu dan olahannya. Selain biaya yang ditanggung pengusaha lebih murah, iklim usaha dan regulasi di Vietnam dinilai jauh lebih baik dan menarik. Pelaku usaha di Vietnam tidak dibebani biaya-biaya, seperti biaya dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Vietnam dinilai sebagai negara yang memiliki kegairahan dalam industri produk kayu dan olahannya.
Dengan kondisi itu, masyarakat di Vietnam banyak menanam tanaman akasia meski hasil tanaman akasia di Vietnam tak lebih baik dari Indonesia. Oleh karena itu, untuk mendorong ekspor, pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian insentif bagi pelaku usaha, seperti percepatan pembayaran restitusi Pajak Pertambahan Nilai, peninjauan kembali penetapan harga kayu untuk basis pengenaan Pajak Penghasilan, dan keringanan PBB.
Selain itu, upaya mendorong ekspor kayu dan olahannya perlu didukung pengawasan dan ketegasan aparat di daerah, terutama bea dan cukai. Dengan demikian, peluang ekspor kayu olahan secara ilegal dapat dicegah dan ditindak.
Bagaimanapun, potensi ekspor ilegal produk kayu tetap ada karena berbagai faktor, seperti harga ekspor kayu yang menggiurkan atau area hutan yang terbuka atau area hutan di luar izin pengusahaan yang diberikan masih besar. Upaya mendorong ekspor kayu olahan pada perlu terus memperhatikan aspek keberlanjutan agar kayu-kayu dari hutan alam atau hutan tanaman tetap dapat lestari.