Pemberian aset dan akses terhadap masyarakat sekitar hutan melalui program perhutanan sosial masih menuai sejumlah permasalahan. Salah satunya adalah konflik sosial di kawasan obyek perhutanan sosial.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
BATANG, KOMPAS — Pemberian aset dan akses terhadap masyarakat sekitar hutan melalui program perhutanan sosial masih menuai sejumlah permasalahan. Salah satunya adalah konflik sosial di kawasan obyek perhutanan sosial.
Hal itu mengemuka dalam Kongres Pertama Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia yang diselenggarakan pada Senin (22/7/2019) di Desa Gerlang, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Sejumlah petani yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia meminta dukungan dan komitmen semua pihak untuk mendukung program perhutanan sosial yang telah ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 dan Nomor 39 Tahun 2017.
”Untuk mengoptimalkan manfaat program perhutanan sosial ini, kami minta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mempercepat verifikasi obyek ataupun subyek perhutanan sosial,” ujar Koordinator Sekretariat Bersama Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia Siti Fikriyah Khuriyati yang ditemui di sela-sela kongres.
Sejauh ini, lanjut Siti, baru ada 39 izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) dengan luasan lahan 19.656 hektar yang diberikan kepada masyarakat. Dia berharap beberapa pengajuan IPHPS yang masih dalam proses bisa segera diselesaikan.
Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak atau hutan adat oleh masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya. Pemerintah mengalokasikan 12,7 juta hektar lahan perhutanan untuk program ini.
Menurut Siti, pemberian aset dan akses kepada petani untuk mengelola hutan bisa membantu menyelesaikan beberapa masalah hutan sekaligus, mulai dari masalah ekologi, ekonomi, hingga sosial. Dari aspek ekologi, masyarakat yang diberi akses pemanfaatan hutan diberi tanggung jawab melakukan pemeliharaan hutan sehingga lahan-lahan kritis bisa dipulihkan.
Sementara itu, dari aspek ekonomi, petani yang selama ini dinilai belum sejahtera bisa memanfaatkan hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan hutan sebagai lahan tanam, tempat wisata, dan sebagainya. Dengan begitu, masyarakat cukup mengoptimalkan sumber daya di sekitar rumahnya sehingga tak perlu urbanisasi ke kota-kota besar.
Petani yang dinilai belum sejahtera bisa memanfaatkan hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Adapun dari aspek sosial, pemberian akses kepada petani untuk mengelola hutan dapat menghindarkan petani dari konflik sosial dengan pihak-pihak lain. Selama ini, para petani mengatakan sering kali mendapatkan ancaman, intimidasi, hingga pungutan liar dari sejumlah pihak.
Amin Tohari, perwakilan petani dari Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, mengatakan, selama ini petani yang mendapat kesempatan memanfaatkan lahan perhutanan sosial sering mendapatkan intimidasi dan ancaman dari oknum yang diduga bagian dari petugas Perum Perhutani.
”Sejak tahun 2006, wilayah kami itu rawan konflik antara petani dan pihak (Perum) Perhutani. Bahkan, konflik tersebut pernah mengakibatkan seorang petani meninggal akibat luka tembak,” ujar Amin.
Tak hanya Amin, seorang petani asal Pati, Jateng, Slamet, juga mengeluhkan konflik sosial terkait pemanfaatan lahan antara petani dan oknum yang diduga bagian dari petugas Perum Perhutani. Menurut Amin, warga sering kali dituduh merusak hutan dan beberapa kali diusir saat hendak mengolah lahan. Ia berharap, setelah IPHPS terbit dan diserahkan, mereka memiliki legalitas mengolah lahan dan bisa bekerja dengan tenang.
Perhutanan sosial merupakan salah satu teknik yang cocok untuk meredam konflik tenurial atau konflik soal lahan.
Sementara itu, Herudoyo, Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, menuturkan, perhutanan sosial merupakan salah satu teknik yang cocok untuk meredam konflik tenurial atau konflik soal lahan semacam itu. Jika ada batasan yang jelas dan resmi, diyakini tidak akan ada lagi konflik-konflik sosial.
Salah satu perwakilan dari Perum Perhutani, Ananda Hartono, menyayangkan konflik yang dialami oleh para petani di lapangan. Ananda mengajak para petani berbagi obyek pengelolaan. Sebab, menurut dia, kawasan hutan hendaknya bisa digunakan bersama untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah.