Papua Barat Melawan Kemiskinan dengan Perdasus Konservasi
Pemerintah Provinsi Papua Barat secara bertahap mengimplementasikan program pembangunan berkelanjutan dan komitmen menjaga 70 persen luas hutan. Langkah ini ditempuh untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran yang menahun.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Papua Barat secara bertahap mengimplementasikan program pembangunan berkelanjutan dan komitmen menjaga 70 persen luas hutan. Langkah ini ditempuh untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran yang menahun.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua Barat Dance Sangkek mengatakan, Papua Barat memiliki potensi wilayah dan kapasitas fiskal yang cukup besar. Dalam dua tahun terakhir, pembangunan daerah difokuskan untuk infrastruktur dasar dan konektivitas antarwilayah. Kawasan ekonomi khusus juga dibangun di Sorong dan Teluk Bintuni.
”Kami menyadari kekayaan alam yang kami miliki. Oleh karena itu, kami ingin ekonomi daerah tidak lagi tertumpu pada industri ekstraktif,” kata Dance dalam salah satu sesi diskusi Forum Pembangunan Indonesia (Indonesia Development Forum) 2019 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Rapat Paripurna DPR Daerah Papua Barat, Mei 2019, menetapkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan atau Perdasus Konservasi. Perdasus menegaskan bahwa kekayaan Papua atas keragaman hayati dan sumber daya alam harus menyejahterakan warga.
Penetapan perdasus itu merespons komitmen Pemerintah Provinsi Papua Barat untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan dan mempertahankan 70 persen hutan. Papua Barat juga ditetapkan sebagai provinsi konservasi pertama di Indonesia.
Perdasus Konservasi merupakan komitmen Pemerintah Papua Barat untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan dan mempertahankan 70 persen hutan. Papua Barat juga ditetapkan sebagai provinsi konservasi pertama di Indonesia.
Dance mengatakan, komitmen pembangunan berkelanjutan saat ini diimplementasikan secara bertahap, antara lain dengan menata ulang regulasi, merevisi tata ruang wilayah, dan memasukkan aspek ekonomi hijau ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2020-2024.
”Sektor riil ditata kembali dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi berbasis lingkungan,” kata Dance.
Kebijakan pembangunan berkelanjutan ini ditempuh pemerintah untuk mengatasi permasalahan utama di Papua Barat, terutama kemiskinan dan pengangguran. Selain aspek lingkungan, pembangunan daerah diarahkan berbasis potensi unggulan, seperti pertanian cokelat, pariwisata, dan perikanan.
Badan Pusat Statistik mencatat, tingkat kemiskinan di Papua Barat adalah yang tertinggi kedua nasional, sebesar 211.500 orang (22,17 persen) pada Maret 2019. Sementara angka pengangguran di Papua Barat mencapai 360.096 orang (5,28 persen) pada Februari 2019.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat Charlie Dany Heatubun menambahkan, pemerintah tidak menerbitkan izin perkebunan sawit baru di Papua Barat sebagai langkah konkret mendukung ekonomi hijau. Berbagai izin perkebunan dan penebangan kayu sedang ditinjau ulang.
”Papua Barat berkomitmen melindungi minimal 70 persen dari total luas hutan yang ada. Langkah ini untuk mengubah paradigma pembangunan dari industri ekstraktif ke industri jasa, seperti ekowisata,” kata Charlie.
Menurut dia, peralihan arah kebijakan pembangunan tentu berdampak terhadap penerimaan Papua Barat. Sebab, pendapatan asli daerah tertinggi disumbang dari sumber daya mineral, minyak dan gas, tambang, perkebunan sawit, dan kehutanan. Namun, keberlanjutan ekonomi jauh lebih penting.
Orang asli Papua
Anggota tim Food and Land Use Papua Barat dari Universitas Papua, Keliopas Krey, berpendapat, pembangunan berkelanjutan di Papua Barat harus dibarengi penataan lahan dan kualitas penduduk. Partisipasi kerja orang asli Papua harus ditingkatkan dan diprioritaskan.
”Selama ini, pertambahan penduduk di Papua Barat karena migrasi, bukan kelahiran. Sebagian besar pendapatan daerah bukan dinikmati orang asli Papua,” kata Keliopas.
Pembangunan berkelanjutan di Papua Barat harus dibarengi penataan lahan dan kualitas penduduk. Partisipasi kerja orang asli Papua harus ditingkatkan dan diprioritaskan.
Pemerintah Papua Barat diminta membuat program khusus nonedukasi untuk penduduk lokal. Banyak orang asli Papua tidak bersekolah, tetapi memiliki kemampuan untuk melayani tamu berwisata. Kemampuan mereka mesti diakomodasi dan didukung untuk meningkatkan produktivitas daerah.
Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat (Perjampat) Kristian Sauyai mengatakan, sejumlah orang asli Papua membangun rumah singgah (homestay) untuk wisatawan, terutama di Raja Ampat. Pemilik rumah singgah mayoritas pernah bekerja sebagai karyawan hotel.
”Anak-anak asli Raja Ampat bisa bersekolah sampai perguruan tinggi hanya dari rumah singgah. Kami mengelolanya secara kekeluargaan,” kata Kristian.
Anak-anak asli Raja Ampat bisa bersekolah sampai perguruan tinggi hanya dari rumah singgah. Kami mengelolanya secara kekeluargaan.
Kristian menambahkan, warga kini mulai sadar kebersihan lokasi wisata. Di Raja Ampat, misalnya, warga menjadikan lokasi itu sebagai ekowisata sehingga tidak dieksploitasi secara massal. Mereka menyadari, daya dukung ekosistem Raja Ampat sangat rentan.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa) bersama Kementerian Pariwisata telah menggali dan mengembangkan potensi pariwisata di perdesaan, salah satunya di Raja Ampat. Raja Ampat merupakan salah satu destinasi wisata alam yang menawarkan kekayaan perairan dan bawah laut.
Kemendesa mencatat, sejak daerah itu membatasi kegiatan penangkapan ikan dan menggantikannya dengan kegiatan pariwisata pada sekitar 2006, pendapatan asli daerah naik dari sekitar Rp 5 miliar menjadi Rp 25 miliar dalam waktu lima tahun (Kompas.id, 17 Juli 2019).