Banyak anak difabel dengan latar belakang yang rentan belum dipahami sepenuhnya. Mereka kerap dianggap sebagai masalah sehingga sering kali diabaikan, bahkan didiskriminasi. Padahal, banyak dari mereka memiliki potensi untuk dikembangkan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Banyak anak difabel dengan latar belakang yang rentan belum dipahami sepenuhnya. Mereka kerap dianggap sebagai masalah sehingga sering kali diabaikan, bahkan didiskriminasi. Padahal, banyak dari mereka memiliki potensi untuk dikembangkan.
Hal tersebut mengemuka dalam acara Temu Anak Pintar di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Senin (22/7/2019). Acara yang dihadiri 59 peserta dari 27 kabupaten/kota di 11 provinsi tersebut diadakan dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar mengakui, anak dengan beragam kerentanan belum semuanya dapat didampingi secara baik. Anak-anak yang retan itu belum dipahami dan juga diperlakukan sebagaimana mestinya.
Anak-anak rentan yang dimaksud seperti penyandang disabilitas yang berasal dari keluarga migran, masyarakat adat terpencil, keluarga ekonomi lemah, keluarga minoritas, keluarga pekerja seks, dan anak yang tumbuh dari lingkungan yang sarat kekerasan. Jumlah anak rentan itu belum bisa terdata. Di Indonesia, saat ini populasi anak mencapai 83,4 juta jiwa.
”Semua orang harus paham, proses kehidupan itu tidak semuanya berjalan mulus. Dalam proses tumbuh kembang, ketika pengasuhan dan lingkungan tidak baik, itu akan berdampak pada diri anak. Kami berharap semua orang paham dan punya bekal bagaimana cara menanganinya. Anak-anak semacam itu sangat rentan terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak baik,” tutur Nahar.
Dari sisi pola asuh, sebagai contoh, banyak anak tidak mengalami kasih sayang dari orangtuanya. Anak pekerja migran banyak diasuh kakek dan nenek. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, populasi anak yang dititipkan kepada kakek atau nenek sebanyak 5,5 persen atau 4,5 juta anak.
Peran guru sangat dibutuhkan. Jangan sampai sekolah ikut memperparah kondisi anak.
Nahar juga berharap agar sekolah sebagai lingkungan berikutnya setelah keluarga dapat memberikan perlakuan yang tepat terhadap anak yang rentan. Jangan ada perundungan, apalagi diskriminasi. ”Di sini, peran guru sangat dibutuhkan. Jangan sampai sekolah ikut memperparah kondisi anak,” ujarnya.
Lewat kegiatan temu anak itu, lanjutnya, pihak kementerian menghimpun masukan dari anak-anak untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan ataupun rekomendasi terhadap pihak terkait. Salah satu wacana yang muncul adalah mendorong desa ramah anak. Dana desa dapat digunakan untuk program pemberdayaan dan perlindungan anak.
Team Leader Program Peduli The Asia Foundation Abdi Suryaningati mengatakan, Temu Anak Pintar ditujukan kepada anak dan remaja untuk mengemukakan pandangan tentang persoalan yang dialami, menawarkan solusi dari perspektif mereka, serta menyampaikan harapan mereka. Lewat kegiatan itu, anak-anak dari semua daerah dapat berkenalan dan membina jaringan pertemanan.
Selama kegiatan itu, mereka berbaur dan secara berkelompok membuat berbagai karya, seperti mural, maket, dan video pendek. Di hadapan tamu undangan, mereka mempresentasikan hasil karya mereka. Hampir semua peserta yang berusia 14-17 tahun tanpa ragu tampil dan menunjukkan kebolehan berbicara di muka umum.
Jagad Muhammad (16), anak autis dari Jawa Timur, tampil mengutarakan pandangan tentang Indonesia setelah pemilihan presiden. ”Sekarang tidak ada cebong dan kampret. Kita semua bersahabat dan bersatu, bergandeng tangan demi Indonesia maju,” ucapnya, disambut tepuk tangan meriah hadirin.